Berdasarkan kematangan tanah dan pola sebaran vegetasi di sekitar gletser, disimpulkan bahwa luas gletser sekitar 19 km persegi pada tahun 1850.
Citra satelit kemudian menunjukkan bahwa area gletser turun menjadi hanya 2 km persegi pada tahun 2002.
Baca juga: Angkatan Darat AS Sadar Bahaya Pemanasan Global, Keluarkan Strategi Perubahan Iklim
Pada 2018, luasnya hanya 0,46 km persegi. Tahun lalu, itu 0,27 km persegi. Ini berarti bahwa pencairan telah dipercepat dari waktu ke waktu, kata dia.
Untuk mempelajari lebih lanjut tentang gletser, Permana dan rekan-rekannya mengekstrak inti es darinya pada tahun 2010 dengan mengebor 32 m ke batuan dasar. Inti es kemudian diambil untuk diperiksa.
Tim juga memasang pipa polivinil klorida (PVC) untuk mengukur seberapa banyak gletser yang mencair dengan melihat ketebalannya.
Pada 2015, mereka menemukan bahwa pipa itu terbuka sejauh 5m.
“Ini berarti kedalaman 1 m hilang per tahun,” kata Permana.
Mereka juga mencatat bahwa pada tahun 2016 ketika El Nino menyebabkan cuaca yang lebih kering dan lebih hangat di Indonesia, pencairannya semakin cepat.
“Dari 2015 hingga 2016, hanya dalam satu tahun, kami kehilangan kedalaman 5 meter,” tambahnya.
Baca juga: Pemanasan Global Sebabkan Tanaman Mekar Lebih Awal, Apa Dampaknya?
Dia mengatakan bahwa dari 2016 hingga 2021, kedalaman 12,5 m lebih lanjut telah hilang.
“Dari angka-angka itu, kita dapat menyimpulkan bahwa ada percepatan (mencair),” katanya.
Permana menerangkan, hal ini diperkirakan bisa terjadi karena ketika gletser mencair, area di sekitarnya menjadi lebih besar, menyerap lebih banyak radiasi matahari.
Gletser padahal penting karena merupakan indikator iklim bumi dan bagaimana perubahannya.
Mencairnya lapisan es ini juga merupakan indikator yang jelas dari pemanasan global.
Dari inti es yang diekstraksi oleh Permana dan rekan-rekannya, mereka mencatat deposit tritium, yang merupakan indikasi uji coba nuklir yang dilakukan Uni Soviet dan China pada 1960-an.