Jika ini tidak memungkinkan, mereka perlu memanipulasi negatif fotografi untuk mengaburkan alat kelamin, melembutkannya secara visual, atau bahkan mengecat pakaian dalam.
Para nudis di periode awal bersikeras bahwa telanjang, di luar ruangan, dalam kelompok, baik untuk kesehatan fisik dan mental.
Mereka juga menginginkan perbedaan moral yang jelas dibuat antara tubuh telanjang dan hasrat seksual.
Mereka berpendapat, pada 1930-an, di halaman majalah mereka, Sun Bathing Review, bahwa "fotografi yang jujur" akan mendorong kejujuran mental, dan membantu menghapus gagasan kasar tentang kerahasiaan seks".
Foto-foto yang diedit, di sisi lain, "lebih cenderung menciptakan rasa mual, kemunafikan, dan kesalahpahaman, dan dengan demikian menghambat kemajuan yang kita coba buat menuju kebebasan dan kewarasan".
Tubuh-tubuh yang di-retouch digambarkan sebagai "dimutilasi", namun para nudis mengakui bahwa alternatifnya, "sebuah dunia bergambar di mana semua orang membelakangi penonton", mempertaruhkan sikap monoton.
Majalah-majalah nudis pertama di Inggris menemui kendala tentang apa yang dapat mereka gambarkan bahkan ketika mereka tidak setuju dengan penilaian hukum tentang apa yang cabul.
Baca juga: Majikan Intip ART Saat Telanjang dan Ganti Baju, Terungkap dari Kamera Tersembunyi
Undang-undang Publikasi Cabul tahun 1857 telah ditetapkan untuk menuntut karya-karya pornografi - tetapi karena cabul dan pornografi bergantung pada mata yang melihatnya, selama lebih dari satu abad diperlukan perdebatan baru dalam setiap kasus.
Definisi kecabulan oleh Ketua Mahkamah Agung Cockburn pada tahun 1868 bertahan selama sebagian besar abad ke-20: yang dapat "mencemari dan merusak orang-orang yang pikirannya terbuka terhadap pengaruh-pengaruh tidak bermoral seperti itu dan ke pihak mana publikasi semacam ini dapat dilihat".
Mengingat premisnya yang tidak jelas, penuntutan kecabulan bertumpu pada berbagai faktor termasuk "keadaan publikasi". Alec Craig, seorang nudis yang bersemangat dan pengkampanye anti-sensor yang gencar, menyarankan pada tahun 1930-an bahwa "foto yang diambil di kamp nudis tidak dapat dianggap 'cabul'".
Namun dia memperingatkan: "Apa yang mungkin benar-benar tidak berbahaya dalam satu situasi mungkin 'cabul' di situasi lain. Sebagai contoh ekstrem," katanya, "foto-foto telanjang, yang dalam keadaan normal tidak dapat dibantah, dapat dianggap 'cabul' jika diedarkan di sekolah biara."
Demikian juga, di luar pembingkaian majalah nudis yang cermat, sebuah foto telanjang membawa berbagai makna yang terbukti sulit dijabarkan di pengadilan.
Majalah-majalah nudis menerbitkan foto-foto untuk menunjukkan cita-cita gerakan itu, tetapi banyak anggotanya tidak ingin digambarkan karena alasan kehormatan.
Beberapa praktisi adalah fotografer profesional. Mereka yang lebih suka menggunakan model sebagai subyek.
Gambaran nudisme yang muncul adalah campuran dari foto-foto candid kehidupan di kamp, penggambaran lukis tubuh-tubuh muda yang langsing dalam suasana pedesaan, dan foto aksi yang menunjukkan tubuh atletis berolahraga.
Karena tubuh pria perlu diedit lebih lanjut untuk lolos sensor, dan karena nudisme pada awalnya didominasi oleh pria (sebagai anggota, fotografer, penulis, editor, dan pembaca), wanita telanjang adalah fokus fotografi utamanya.
Pada tahun 1930-an, foto telanjang wanita dapat ditemukan di dinding pameran fotografi serta di halaman buku seni, anatomi dan antropologi, majalah pria, surat kabar harian, mingguan fotojurnalis, dan bulanan naturis.
Dalam beberapa kasus, dengan konteks yang disesuaikan, gambar-gambar yang sama dapat muncul di semua media tersebut, menantang klaim nudisme bahwa publikasi dan foto-fotonya berbeda secara moral dan estetis.