Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dinda Lisna Amilia
Dosen

Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya.

Keniscayaan Indonesia dalam Menerima Pengungsi

Kompas.com - 29/10/2021, 10:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kendati setiap tahun negara-negara resettlement (pemberi suaka) punya kuota untuk menerima suaka, namun mereka tetap menutup rapat perbatasan mereka, tidak peduli bagaimana krisis pengungsi yang terjadi di negara-negara dunia ketiga.

Karena nyatanya, sebagian besar negara dengan jumlah pengungsi terbanyak justru merupakan negara berkembang. UNHCR mencatat, negara yang mempunyai pengungsi terbanyak adalah Turki (3,7 juta pengungsi), Kolombia (1,7 juta pengungsi), Pakistan (1,4 juta pengungsi), Uganda (1,4 pengungsi), dan Jerman (1,2 pengungsi).

Keniscayaan Menerima Pengungsi

Dari 145 negara yang ambil bagian dari Konvensi Internasional Pengungsi 1951, Indonesia tidak menjadi salah satunya.

Satu-satunya regulasi dalam negeri menyangkut pengungsi adalah Peraturan Presiden No 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.

Dalam perpres tersebut, kontribusi Indonesia tetap hanya menjadi negara transit bagi para pengungsi, tidak lebih.

Implikasinya, ruang gerak pengungsi yang berada di Indonesia sangatlah terbatas. Data UNHCR pada pengujung 2020, terdapat sekitar 13 ribu pengungsi yang transit di Indonesia. Dengan negara asal terbanyak dari Afghanistan (56 persen), Somalia (10 persen), dan Myanmar (5 persen).

Kendati hanya "transit", kenyataannya bisa bertahun-tahun. Waktu yang mereka habiskan untuk transit di Indonesia rata-rata berkisar antara dua hingga lima tahun, meskipun dalam beberapa kasus lebih lama (Tanu et al: 2017).

Dengan durasi beberapa tahun seperti itu, akan memprihatinkan bila pengungsi tidak mendapatkan hak dasar seperti pendidikan dan pekerjaan.

Menyoal pekerjaan memang terkesan kontroversial, bagaimana kesan yang timbul engan memberikan pekerjaan pada pencari suaka berarti merebut lapangan pekerjaan orang lokal (Indonesia).

Padahal, dengan tidak bekerja dan menggantungkan akomodasi pada pemerintah malah membuat pengungsi menjadi beban negara, di mana pemerintah harus mengeluarkan anggaran darurat seperti akomodasi untuk pengungsi tersebut.

Bila Taliban benar-benar mengambil alih pemerintahan Afghanistan, bisa jadi gelombang pencari suaka dari negara tersebut akan terus berdatangan. Artinya, sudah waktunya pemerintah kita memberi kesempatan pengungsi untuk bisa produktif.

Mengingat data UNHCR yang memperlihatkan lebih dari 50 persen pengungsi di Indonesia berasal dari Afghanistan, maka menjadi mungkin ke depannya jumlah tersebut terus bertambah.

Yang kita butuhkan adalah bagaimana mempersiapkan kebijakan yang lebih siap untuk mengatur pengungsi, dan masyarakat yang siap berbaur dengan mereka.

Tuntutan untuk menyesuaikan zaman selalu menjadi keniscayaan. Langkah pemerintah baru-baru ini untuk membantu dan memberikan penampungan kepada pengungsi adalah sebuah langkah awal yang positif dan patut diapresiasi.

Namun masih perlu diikuti dengan kebijakan-kebijakan lain yang spesifik untuk menghindari kekacauan yang tidak diantisipasi.

Baik pengungsi maupun pencari suaka, keduanya punya hak untuk berada dan menerima perlindungan di Indonesia, karena mencari suaka adalah hak asasi yang diakui secara internasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com