Selama tiga bulan, dia tidak dapat menemukan susu formula untuk putrinya yang berusia 11 bulan, Maghriya.
“Dari Batroun ke Byblos dan kembali ke Beirut, saya mengemis di setiap apotek untuk satu kaleng susu formula,” kata Kouymoudjian, yang dokternya menyarankannya menggunakan susu formula khusus setelah Maghriya mengalami sembelit.
Putus asa, Kouymoudjian menerbitkan sebuah unggahan untuk menukar paket formulanya di grup Facebook bernama LibanTroc. Semakin banyak orang mengunakan group itu untuk menukar barang yang mereka butuhkan.
Zeina Matar, seorang ibu hamil, mengku tidak mau panik mencari susu dan telah menyetok selama trimester terakhirnya.
“Teman-teman yang datang dari luar negeri membawakan saya beberapa kaleng,” katanya.
Baca juga: Antre Berjam-jam demi Bahan Bakar, Warga Lebanon Ramai-ramai Shalat di Pom Bensin
Krisis lainnya mengganggu kemampuan masyarakat untuk memproses dokumen hukum, seperti paspor yang perlu diperbarui untuk perjalanan.
Selama berbulan-bulan, lembaga negara, kementerian dan notaris menderita kekurangan kertas dan stempel resmi untuk transaksi, tagihan, dan pemrosesan dokumen hukum.
Kekurangan ini bahkan membuat ribuan transaksi resmi dihentikan, merampas pendapatan perbendaharaan jutaan dollar.
Orang-orang menghadapi penundaan atau terpaksa membeli kertas A4 dan stempel resmi di pasar gelap agar dokumen mereka bisa diproses.
Seorang pengacara yang berbasis di Beirut mengatakan tidak dapat membayar denda klien selama berbulan-bulan, karena kantor penerima kehabisan kertas dan tidak dapat mengeluarkan tanda terima.
Baca juga: Tangki Bahan Bakar Ilegal Meledak di Lebanon, 28 Tewas 79 Luka-luka
Selama beberapa dekade, Lebanon mengandalkan impor barang-barang penting seperti bahan bakar, obat-obatan, dan produk makanan.
Untuk mengatasi kekurangan yang melumpuhkan, pemerintah memutar kembali subsidi untuk barang-barang tertentu.
Ketika subsidi dicabut, biaya bahan pokok seperti beras dan kacang-kacangan meningkat lebih dari dua kali lipat dalam satu tahun dan harga bahan bakar melonjak karena ketergantungan pada impor dan krisis likuiditas yang semakin dalam.
Sejak 2019, pound atau lira Lebanon, yang dipertahankan oleh bank sentral pada kurs resmi 1.500 terhadap dollar AS (kedua mata uang tersebut digunakan di Lebanon), kehilangan lebih dari 90 persen nilai jalanannya, melampaui 20.000 terhadap dollar dalam Juli.
Kebanyakan orang mendapatkan dan membelanjakan uang dalam mata uang lokal, yang nilai pasar gelapnya berfluktuasi setiap hari.
Makanan pokok seperti roti pipih pita dan air kemasan lebih sulit ditemukan, dan banyak rak supermarket kosong.
Muncul dari antrean panjang di sebuah toko roti di lingkungan Nabaa yang padat penduduk di Beirut, Jana Chiban terlihat bingung dengan anaknya menangis dalam gendongannya.
“Saya sudah mengantre berjam-jam, dan saya hanya mendapat satu bungkus roti,” kata ibu tiga anak ini.
Baca juga: Pertama dalam 7 Tahun, Jet Tempur Israel Serang Wilayah Lebanon
Di distrik Hamra pusat Beirut, Charles Semaan, seorang copywriter berusia 36 tahun, menghabiskan hari-harinya menjelajahi lingkungannya untuk mencari kafe dengan listrik untuk bekerja dengan laptop dan mengisi daya ponselnya.
Semua jaringan utama, GPS, telekomunikasi, lampu lalu lintas, sistem air, bergantung pada listrik yang stabil. Pasalnya jaringan listrik Lebanon dibangun di atas tambal sulam generator, kabel, dan Electricite du Liban milik negara yang tidak layak.