Natalia Indrasari Try Sutrisno yang berprofesi sebagai terapis keluarga dan pernikahan di Iowa, AS, mengatakan, jika dihadapkan pada situasi seperti itu, tenaga kesehatan di Amerika Serikat wajib menawarkan bantuan penerjemah medis secara gratis, khususnya jika bahasa Inggris bukan bahasa ibu pasien.
“Kalau mereka bilang bahasa inggris itu bahasa keduanya mereka, kita wajib, sebagai provider, untuk memberikan bantuan dengan menghubungkan mereka dengan jasa medical interpreter,” jelas perempuan yang juga adalah penyuluh penyalahgunaan narkoba ini.
“Kalau misalnya pasiennya PD (percaya diri) aja dengan kemampuan berbahasa inggrisnya mereka ketika mereka dapetin medical service di sini ya enggak apa-apa juga sih. Tapi ada risiko di mana kita salah ngerti gitu,” tambahnya.
Data terakhir yang dikeluarkan oleh Migration Policy Institute, lembaga riset yang berupaya meningkatkan kebijakan imigrasi di Amerika Serikat menyatakan 9 persen dari total populasi Amerika atau sekitar 25,2 juta penduduk memiliki keterbatasan kemampuan berbahasa Inggris.
Banyak dari mereka yang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, khususnya untuk hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan.
Harcandiana Roebiantho di Washington DC pernah mendapatkan layanan jasa penerjemah medis, yang membantunya saat menjalani wawancara mengenai kondisi kesehatannya dengan instansi pemerintah.
“Saya memakai jasa penerjemah medis pada waktu itu saya sakit dan saya tidak bisa kerja full time sehingga pemerintah menawarkan asuransi untuk meng-cover biaya rumah sakit saya, sehingga pada saat ada interview dari government, saya memerlukan penerjemah supaya saya tidak salah dalam menjawab juga menerangkan istilah-istilah medis pada saat itu,” ujarnya kepada VOA.
Untuk menjadi penerjemah medis di AS, Anda harus menempuh pendidikan khusus hingga memperoleh sertifikat resmi.
“Waktu aku dulu ambil programnya itu memang, pelajarannya kan juga tentang medical terminology, kosakata bahasa medis, hari ini kita belajar tentang kardiologi, besok tentang pediatric, tentang kanker, jadi memang bahasa Inggris-nya, tapi nanti setiap interpreter bikin glossary sendiri, bikin rangkuman sendiri, bahasanya mereka apa gitu, jadi aku punya rangkuman tuh banyak,” jelas Sandra.
Mengingat bahasa Indonesia termasuk ke dalam kategori bahasa eksotis atau tidak umum dipakai di Amerika, seperti halnya bahasa Mandarin, Korea, dan Arab, pada waktu itu Sandra tidak perlu mengikuti ujian lisan.
“Ujiannya itu cuman ujian tertulis, jadi Inggris ke Inggris aja. Cuman pemahaman cara menjadi interpreter itu bagaimana dan kosakata medisnya saja gitu ujiannya,” jelas perempuan lulusan S1 insinyur biomedis universitas Southern California di Los Angeles, California ini.
“Meskipun fasih, sehari-hari berbicara casual gitu, bisa. Mereka kerja apa bisa bahasa Inggris, tapi kalau untuk ke dokter, kata-kata medis itu kan beda sekali,” ujarnya.
Para pasien dengan keterbatasan bahasa kerap membawa sanak saudara atau teman untuk mendampingi mereka ke dokter untuk membantu sebagai penerjemah, yang menurut Sandra sebenarnya tidak diperbolehkan oleh kebanyakan instansi kesehatan di Amerika.
“Jadi mungkin ke dokter sendiri dan mereka mungkin tidak mengerti 100 persen. Jadi kan kasihan ya, akibatnya mungkin bisa fatal atau gimana. Atau ada yang mau dibicarakan tapi mereka malu atau enggak bisa, jadi enggak diungkapkan. Jadi aku mikir pasti aku diperlukan. Jadi aku percaya diri aja,” jelasnya.
Terkadang Sandra kerap menerima panggilan dari pasien asal Malaysia. Walau bahasanya satu rumpun, Sandra harus menjelaskan bahwa ini adalah bahasa yang berbeda.
“Kata (pasiennya) enggak (apa-apa) pakai Indonesian, karena enggak ada yang Malaysian available. Kamu mau enggak? Wah, itu aku harus jelaskan ke dokternya dulu,” cerita Sandra.
Sebagai penerjemah medis, biasanya Sandra mendapat panggilan baik melalui telepon, video, atau langsung datang ke lokasi. Sewaktu pandemi mulai merebak di Amerika dan karantina wilayah diberlakukan, Sandra tidak lagi menerima banyak panggilan untuk datang langsung ke lokasi.
Namun, panggilan yang ia terima melalui telepon atau video kian bertambah, mengingat banyak pasien dari berbagai negara bagian di Amerika yang memerlukan bantuannya. Ditambah lagi dengan tempat praktik dokter yang kini banyak melakukan telehealth atau layanan kesehatan secara jarak jauh dengan menggunakan teknologi informasi.
“Jadi aku bisa selalu kerja dari rumah, over the phone, itu bisa 24 jam kalau mau,” ujar perempuan yang sudah menetap di Amerika Serikat sejak tahun 1995 ini.
Baca juga: Kisah Moorissa Tjokro, Satu-satunya Gadis WNI Insinyur Autopilot Mobil Tesla
“Betul-betul enggak ideal, karena kamu enggak bisa melihat secara langsung. Aku lebih suka berhadapan secara langsung, karena aku bisa melihat raut muka mereka, ekspresi mereka,” kata Sandra.