Natalis yang mengaku bisa merasakan aura dunia lain, kerap berlarian dan berteriak. "Ada bayangan, kita keluar saja,“ katanya.
Atau pendengarannya yang menangkap suara orang meratap, menjerit dan menangis. Saya yang tidak bisa merasakan dunia lain, menjadi merinding. Jangan-jangan benar adanya.
"Saya lebih khawatir ada polisi yang datang,“ kata saya. Suara manusia yang berteriak tidak saya dengar.
Namun suara mirip jeritan bayi, tampaknya berasal dari burung camar yang cukup banyak menghuni pulau ini. Atau memang suara roh gentayangan, bukan dari burung camar?
Kami terus menyusuri bangunan yang sudah runtuh di sana-sini itu. Sesekali naik ke lantai dua. Ada tangga yang tersumbat dua lemari besi yang jatuh. Dan lorong lorong gelap yang menyeramkan. Di luar gedung, pohon liar juga menambah aura suram pulau ini.
Sebuah bangunan kecil terpisah dari gedung utama, agak menarik perhatian. Pintunya hilang, dindingnya dikuasai poison ivy, tanaman rambat beracun. Gereja bukan, pembakaran mayat belum pasti. Namun ada lilin bekas setengah terbakar tergeletak disana.
Baca juga: Nekat Mudik Lebaran di Kota Madiun Terancam Diisolasi di Penjara Angker Peninggalan Belanda
Natalis mulai terlihat tidak tenang. Dia mulai mengingat kejadian naas yang menimpa urbex lainnya. Yang tersesat lah, yang diganggu roh halus lah.
Saya pun demikian, namun lebih dikarenakan akan datangnya aparat kepolisian. Dan juga terasa sesak terus berada di gedung tua yang gelap dan suram. Nyamuk juga mulai mengganggu, dan bekas goresan tanaman liar mulai terasa panas di lengan.
Sudah beberapa gedung besar kami masuki, termasuk semak belukar dan hutan liar di sekitarnya. Jika ada binatang yang paling banyak kami lihat, adalah beberapa spesies burung, utamanya burung camar.
Kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke dermaga, mencari ketenangan di sana. Sambil menunggu jemputan datang, saya mulai menerbangkan drone.
Namun kegugupan yang masih melanda, juga angin kencang dan banyaknya burung camar, membuat penerbangan drone itu tidak maksimal.
Kami datang di musim panas, ketika matahari baru tenggelam pukul 21.00 malam. Namun mendung dan angin kencang membuat suasana pukul 19.00 itu seperti menjelang mahgrib tiba. Saya buka lagi ransel ini, mengontrol apakah ponco atau kantung tidur masih ada.
"Jaga jaga kalau boatnya tidak menjemput, bisa buat tidur di dermaga,“ kata saya. Bermalam di pulau ini tentu tidak pernah kami bayangkan. Hingga kini pun belum terdengar ada yang berkemah di pulau ini.
Yang pernah terkisahkan adalah lima Turis Urbex asal AS yang terpaksa memanggil polisi karena tak tahan mendengar jeritan di pulau ini. Atau kameraman televisi yang merasa didorong makluk halus.
Boat datang tepat waktu. Saya bernafas lega ketika Poveglia lambat laun mengecil dan akhirnya tak tampak lagi dalam pandangan mata.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.