Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Masa Lalu Kelam, Masyarakat Venezia Coba Tutupi Pulau Angker Poveglia

Hanya saja bukan sembarang karantina, juga tidak seperti umumnya rumah sakit jiwa yang jamak ditemui di masyarakat umum.

Sebanyak 160 ribu pasien karantina itu meninggal, atau dalam versi berbeda, dibunuh dan dibakar hidup hidup di pulau itu.

Sementara rumah sakit jiwanya, yang berdiri seratus tahun setelah operasi karantina massal tersebut, dianggap sebagai tempat penyiksaan daripada penyembuhan.

Kisah menyeramkan berseliweran dari mulut ke mulut masyarakat Venezia. Mereka yang memiliki gejala sakit, dilaporkan langsung diangkut ke pulau itu.

Sebelum ada tes PCR seperti sekarang, antara yang sakit yang sehat, sulit terbedakan. Yang jelas, mereka dibiarkan di pulau tersebut, jika sudah melemah akan dibakar hidup hidup. Sebanyak 160 ribu orang jadi korban karantina massal di pulau ini.

Saat ini nelayan yang menjaring ikan di perairan dekat Poveglia mengungkapkan, kadang menemukan tulang manusia di jaringnya. Atau mendengar jeritan tidak jelas dari reruntuhan bangunan disana.

Kisah tentang rumah sakit jiwa lebih menyeramkan. Konon, ada dokter yang hobi eksperimen dengan pasiennya. Metode pengeboran kepala pasien sering dilakukan.

Siapa yang menolak, akan dijatuhkan dari menara. Suatu hari, dokter tersebut juga terjatuh dari menara itu. Ada yang menyebut bunuh diri, versi lain menyatakan dilemparkan oleh pasien yang marah.

Dulu, kisah kisah menyeramkan itu masih bisa diredam, tapi kini, karena zaman digital, sudah menyebar seantero dunia.

"Kami malu dengan masa lalu itu. Juga ingin menghormati ribuan korban yang meninggal disana,“ kata Paolo, salah satu warga Venezia yang ditemui Kompas.com. "Tapi sebagian besar warga Venezia mendengar kisah kisah semacam itu,“ imbuhnya.

Ingin lebih merasakan atmoser Poveglia, Kompas.com bersama dua Urban Explorer (Urbex) Swiss, nekat mengunjungi pulau yang dijuluki Island of The Death itu.

Nekat karena kunjungan itu berisiko. Bukan hanya kemungkinan akan diganggu makhluk halus di pulau itu, yang sering dialami Urbex lainnya, namun juga berisiko berurusan dengan penegak hukum, lantaran pulau itu terlarang alias ditutup untuk umum.

Kami berangkat dari Lucerne, Swiss Tengah, yang berjarak 600 km dari Venezia, dengan ketidakpastian yang menggelayut.

Belum lagi harus berhadapan protokol kesehatan lintas negara yang merepotkan waktu dan biaya. "Lebih baik sewa tur ke sana,“ saran seorang kawan yang menetap di Venezia.

Ketika kami menghubungi agen perjalanan, hasilnya tidak sesuai harapan. "Harganya 350 euro, dan itu hanya menyusuri garis pantai saja. Tidak bisa mendarat, hanya melihatnya dari atas boat,. Pulau itu dilarang untuk dikunjungi, “ tulis salah satu agen.

Kami memutuskan akan mencari sendiri water taxi yang bersedia mendaratkan kami ke sana, lalu menjemputnya kembali. Syukurlah, setelah ditolak beberapa kali dengan alasan keamanan, ada satu sopir water taxi yang bersedia mengantarkan kami kesana.

"Dua jam disana, lalu kami jemput. Jangan lebih dari dua jam, dan jika ada risiko apa pun, tanggung jawab kalian sendiri,“ kata si operator water taxi.

Sekitar 200 euro tarifnya. Lebih murah daripada tawaran agen perjalanan melalui internet sebelumnya. Kesepakatan itu seperti mendapatkan durian runtuh.

Meskipun sangat capek akibat 7 jam perjalanan darat Lucerne - Venezia, tanpa banyak istarahat, kami langsung bergegas melompat ke boat yang bisa muat 10 orang itu.

Sekitar 5 km jarak Poveglia dari Venezia. Setelah melewati kanal kanal khas Venezia, kami menuju laut lepas. Cuaca mendung, angin agak kencang.

"Dari sini sudah spooky,“ guman Natalis, Urbex Swiss. Ada beberapa pulau di kanan kiri. Namun kami bisa memastikan pulau dengan lindungan pohon menghijau dan menara yang mencuat dari kejauhan, itulah Poveglia, The Island of The Death (Pulau Kematian).

Sampai di dermaga, bekas dermaga rumah sakit jiwa tepatnya, kami menginjakkan kaki di pulau yang paling menyeramkan di Eropa itu. "Bisa jadi juga di dunia,“ kata sopir water taxi.

Bergegas kami melipir garis pantai, mencari celah pagar besi yang melindungi pulau ini dari terobosan orang luar.

"Tidak usah tengok kanan kiri, jalan terus sampai ketemu celah masuk,“ perintah saya ketika melihat dua rekan Urbex masih alon-alon menyusuri pulau ini. Saya waswas kedatangan kami dilihat polisi air, yang bersliweran di sepanjang laguna Venezia.

Tak sampai 300 meter berjalan, kami menemukan pagar kawat berkarat yang bisa terobos masuk. Ada kelegaan untuk sementara, karena kami tersembunyi dibalik pohon yang rimbun.

Namun di depan mata adalah bekas gedung rumah sakit jiwa tersebut, serta tanah pulau Poveglia yang menjadi ladang pembakaran 160 ribu penderita pes atau kolera.

Kami bertiga berpandangan. Diam. Tapi akhirnya terus melanjutkan perjalanan. Dua jam adalah waktu yang tidak panjang untuk mengelilingi 7,5 hektar tanah Poveglia.

Seperti biasa, kami menemukan gedung yang dimakan zaman. Temboknya jebol, ranjang berkarat dan akar pepohonan yang menguasai areal.

Ruangan yang gelap gulita kami terangi dengan lampu, dan serpihan kaca dan paku berkarat kami langkahi dengan sangat hati-hati. "Kabarnya kan ada hantu yang agresif, yang bisa mendorong orang,“ kata Natalis. Repot kalau memang benar ada hantu semacam itu.

Natalis yang mengaku bisa merasakan aura dunia lain, kerap berlarian dan berteriak. "Ada bayangan, kita keluar saja,“ katanya.

Atau pendengarannya yang menangkap suara orang meratap, menjerit dan menangis. Saya yang tidak bisa merasakan dunia lain, menjadi merinding. Jangan-jangan benar adanya.

"Saya lebih khawatir ada polisi yang datang,“ kata saya. Suara manusia yang berteriak tidak saya dengar.

Namun suara mirip jeritan bayi, tampaknya berasal dari burung camar yang cukup banyak menghuni pulau ini. Atau memang suara roh gentayangan, bukan dari burung camar?

Kami terus menyusuri bangunan yang sudah runtuh di sana-sini itu. Sesekali naik ke lantai dua. Ada tangga yang tersumbat dua lemari besi yang jatuh. Dan lorong lorong gelap yang menyeramkan. Di luar gedung, pohon liar juga menambah aura suram pulau ini.

Sebuah bangunan kecil terpisah dari gedung utama, agak menarik perhatian. Pintunya hilang, dindingnya dikuasai poison ivy, tanaman rambat beracun. Gereja bukan, pembakaran mayat belum pasti. Namun ada lilin bekas setengah terbakar tergeletak disana.

Natalis mulai terlihat tidak tenang. Dia mulai mengingat kejadian naas yang menimpa urbex lainnya. Yang tersesat lah, yang diganggu roh halus lah.

Saya pun demikian, namun lebih dikarenakan akan datangnya aparat kepolisian. Dan juga terasa sesak terus berada di gedung tua yang gelap dan suram. Nyamuk juga mulai mengganggu, dan bekas goresan tanaman liar mulai terasa panas di lengan.

Sudah beberapa gedung besar kami masuki, termasuk semak belukar dan hutan liar di sekitarnya. Jika ada binatang yang paling banyak kami lihat, adalah beberapa spesies burung, utamanya burung camar.

Kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke dermaga, mencari ketenangan di sana. Sambil menunggu jemputan datang, saya mulai menerbangkan drone.

Namun kegugupan yang masih melanda, juga angin kencang dan banyaknya burung camar, membuat penerbangan drone itu tidak maksimal.

Kami datang di musim panas, ketika matahari baru tenggelam pukul 21.00 malam. Namun mendung dan angin kencang membuat suasana pukul 19.00 itu seperti menjelang mahgrib tiba. Saya buka lagi ransel ini, mengontrol apakah ponco atau kantung tidur masih ada.

"Jaga jaga kalau boatnya tidak menjemput, bisa buat tidur di dermaga,“ kata saya. Bermalam di pulau ini tentu tidak pernah kami bayangkan. Hingga kini pun belum terdengar ada yang berkemah di pulau ini.

Yang pernah terkisahkan adalah lima Turis Urbex asal AS yang terpaksa memanggil polisi karena tak tahan mendengar jeritan di pulau ini. Atau kameraman televisi yang merasa didorong makluk halus.

Boat datang tepat waktu. Saya bernafas lega ketika Poveglia lambat laun mengecil dan akhirnya tak tampak lagi dalam pandangan mata.

https://www.kompas.com/global/read/2021/07/09/184051170/masa-lalu-kelam-masyarakat-venezia-coba-tutupi-pulau-angker-poveglia

Terkini Lainnya

Saat Warga Swiss Kian Antusias Belajar Bahasa Indonesia...

Saat Warga Swiss Kian Antusias Belajar Bahasa Indonesia...

Global
Lulus Sarjana Keuangan dan Dapat Penghargaan, Zuraini Tak Malu Jadi Pencuci Piring di Tempat Makan

Lulus Sarjana Keuangan dan Dapat Penghargaan, Zuraini Tak Malu Jadi Pencuci Piring di Tempat Makan

Global
Bendungan di Filipina Mengering, Reruntuhan Kota Berusia 300 Tahun 'Menampakkan Diri'

Bendungan di Filipina Mengering, Reruntuhan Kota Berusia 300 Tahun "Menampakkan Diri"

Global
Pria India Ini Jatuh Cinta kepada Ibu Mertuanya, Tak Disangka Ayah Mertuanya Beri Restu Menikah

Pria India Ini Jatuh Cinta kepada Ibu Mertuanya, Tak Disangka Ayah Mertuanya Beri Restu Menikah

Global
Perbandingan Kekuatan Militer Rusia dan Ukraina

Perbandingan Kekuatan Militer Rusia dan Ukraina

Internasional
Setelah Punya Iron Dome, Israel Bangun Cyber Dome, Bagaimana Cara Kerjanya?

Setelah Punya Iron Dome, Israel Bangun Cyber Dome, Bagaimana Cara Kerjanya?

Global
Protes Pro-Palestina Menyebar di Kampus-kampus Australia, Negara Sekutu Israel Lainnya

Protes Pro-Palestina Menyebar di Kampus-kampus Australia, Negara Sekutu Israel Lainnya

Global
Apa Tuntutan Mahasiswa Pengunjuk Rasa Pro-Palestina di AS?

Apa Tuntutan Mahasiswa Pengunjuk Rasa Pro-Palestina di AS?

Internasional
Setelah Menyebar di AS, Protes Pro-Palestina Diikuti Mahasiswa di Meksiko

Setelah Menyebar di AS, Protes Pro-Palestina Diikuti Mahasiswa di Meksiko

Global
Dilanda Perang Saudara, Warga Sudan Kini Terancam Bencana Kelaparan

Dilanda Perang Saudara, Warga Sudan Kini Terancam Bencana Kelaparan

Internasional
Rangkuman Hari Ke-799 Serangan Rusia ke Ukraina: Gempuran Rudal Rusia di 3 Wilayah | Rusia Disebut Pakai Senjata Kimia Kloropirin

Rangkuman Hari Ke-799 Serangan Rusia ke Ukraina: Gempuran Rudal Rusia di 3 Wilayah | Rusia Disebut Pakai Senjata Kimia Kloropirin

Global
Biaya Rekonstruksi Gaza Pascaperang Bisa Mencapai Rp 803 Triliun, Terparah sejak 1945

Biaya Rekonstruksi Gaza Pascaperang Bisa Mencapai Rp 803 Triliun, Terparah sejak 1945

Global
Paus Fransiskus Teladan bagi Semua Umat dan Iman

Paus Fransiskus Teladan bagi Semua Umat dan Iman

Global
Rusia Dilaporkan Kirimkan Bahan Bakar ke Korea Utara Melebihi Batasan PBB

Rusia Dilaporkan Kirimkan Bahan Bakar ke Korea Utara Melebihi Batasan PBB

Global
Turkiye Hentikan Semua Ekspor dan Impor dengan Israel

Turkiye Hentikan Semua Ekspor dan Impor dengan Israel

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke