Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

KTT ASEAN di Jakarta, Saatnya Berkomuni-aksi dengan Myanmar

Kompas.com - 23/04/2021, 09:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Roswita Oktavianti

"Minggu, 11 Mei 2014. Jam menunjukkan pukul 08.00, masih terlalu pagi untuk ukuran hari Minggu. Namun hari itu, saya dan teman-teman wartawan, sudah memadati Jade Hall Gedung Myanmar International Convention Centre, di Nay Pyi Taw, Myanmar. Di sinilah lokasi Konferensi Tingkat Tinggi Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (KTT ASEAN) ke-24.

Yang menarik, ini kali pertama Myanmar dipercaya menjadi tuan rumah KTT ASEAN sejak bergabung dalam perhimpunan ini, tahun 1997. Presiden Republik Uni Myanmar otomatis menjadi Ketua Bersama ASEAN 2014. Beberapa bulan sebelumnya atau akhir 2013, Myanmar juga baru saja menjadi penyelenggara SEA Games ke-27, dan Word Economic Forum on East Asia. Myanmar mulai terbuka pada dunia luar, sebaliknya dunia internasional juga sudah mulai membuka diri dengan kehadiran Myanmar."

ITULAH sepenggal pengalaman yang saya tulis hampir tujuh tahun lalu, kala mendapat kesempatan menjadi peliput KTT ASEAN ke-24 di Nay Pyi Taw, Myanmar.

Siapa pun yang hadir saat itu merasakan betapa "ramahnya" negara ini dengan dunia internasional. Internet di ruang media yang berada di lantai satu gedung tersebut, berjalan dengan lancar.

Koneksi internet menjadi salah satu isu yang tentu saja membuat pewarta berdebar-debar. Dari seluruh negara anggota ASEAN, Myanmar bisa dibilang paling tertutup.

Negara tersebut dikuasai sepenuhnya oleh otoritas militer dari kepala negara hingga parlemen. Perilaku masyarakat dibatasi dari mulai penggunaan ponsel, internet, dan media massa.

Sebuah iklan tentang Myanmar di majalah maskapai yang saya baca saat penerbangan, menggambarkan Myanmar dengan, "Daratan yang indah dan misterius, lima puluh tahun lebih tidak terkoneksi internet dan tidak terakses dunia luar."

Sebelum demonstrasi dan tindakan kekerasan yang terjadi awal tahun 2021 ini, demonstrasi besar mendorong demokrasi pernah terjadi di Negeri Seribu Pagoda tersebut tahun 1988, namun tidak digubris.

Dari sisi perekonomian, Myanmar juga dikenal tertutup. Negara ini mendapat sanksi embargo, diisolasi, ditekan dunia barat bahkan pernah dijauhi negara anggota ASEAN lainnya. Ini yang kemudian membuat Myanmar lamban berkembang.

Hingga pada 2010, untuk kali pertama Myanmar menggelar pemilihan umum melibatkan warganya.

Pemilu ini sempat dipandang sebelah mata oleh Blok Barat karena ditengarai sejumlah pejabat militer berada di balik partai politik. Tongkat estafet kekuasaan beralih, dari kalangan militer ke kalangan militer kembali.

Namun kemudian, era diktator disebut-sebut berakhir tahun 2011. Bahkan tahun 2012, negara ini melakukan liberalisasi ekonomi dengan membuka investasi langsung asing.

Lokasi acara KTT ASEAN, Nay Pyi Taw, merupakan kota baru menggantikan Yangon sebagai pusat pemerintahan.

Pemerintah militer membuat kota dan instrastruktur dari nol, letaknya 320 kilometer dari kota Yangon.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com