Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

KTT ASEAN di Jakarta, Saatnya Berkomuni-aksi dengan Myanmar

"Minggu, 11 Mei 2014. Jam menunjukkan pukul 08.00, masih terlalu pagi untuk ukuran hari Minggu. Namun hari itu, saya dan teman-teman wartawan, sudah memadati Jade Hall Gedung Myanmar International Convention Centre, di Nay Pyi Taw, Myanmar. Di sinilah lokasi Konferensi Tingkat Tinggi Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (KTT ASEAN) ke-24.

Yang menarik, ini kali pertama Myanmar dipercaya menjadi tuan rumah KTT ASEAN sejak bergabung dalam perhimpunan ini, tahun 1997. Presiden Republik Uni Myanmar otomatis menjadi Ketua Bersama ASEAN 2014. Beberapa bulan sebelumnya atau akhir 2013, Myanmar juga baru saja menjadi penyelenggara SEA Games ke-27, dan Word Economic Forum on East Asia. Myanmar mulai terbuka pada dunia luar, sebaliknya dunia internasional juga sudah mulai membuka diri dengan kehadiran Myanmar."

ITULAH sepenggal pengalaman yang saya tulis hampir tujuh tahun lalu, kala mendapat kesempatan menjadi peliput KTT ASEAN ke-24 di Nay Pyi Taw, Myanmar.

Siapa pun yang hadir saat itu merasakan betapa "ramahnya" negara ini dengan dunia internasional. Internet di ruang media yang berada di lantai satu gedung tersebut, berjalan dengan lancar.

Koneksi internet menjadi salah satu isu yang tentu saja membuat pewarta berdebar-debar. Dari seluruh negara anggota ASEAN, Myanmar bisa dibilang paling tertutup.

Negara tersebut dikuasai sepenuhnya oleh otoritas militer dari kepala negara hingga parlemen. Perilaku masyarakat dibatasi dari mulai penggunaan ponsel, internet, dan media massa.

Sebuah iklan tentang Myanmar di majalah maskapai yang saya baca saat penerbangan, menggambarkan Myanmar dengan, "Daratan yang indah dan misterius, lima puluh tahun lebih tidak terkoneksi internet dan tidak terakses dunia luar."

Sebelum demonstrasi dan tindakan kekerasan yang terjadi awal tahun 2021 ini, demonstrasi besar mendorong demokrasi pernah terjadi di Negeri Seribu Pagoda tersebut tahun 1988, namun tidak digubris.

Dari sisi perekonomian, Myanmar juga dikenal tertutup. Negara ini mendapat sanksi embargo, diisolasi, ditekan dunia barat bahkan pernah dijauhi negara anggota ASEAN lainnya. Ini yang kemudian membuat Myanmar lamban berkembang.

Hingga pada 2010, untuk kali pertama Myanmar menggelar pemilihan umum melibatkan warganya.

Pemilu ini sempat dipandang sebelah mata oleh Blok Barat karena ditengarai sejumlah pejabat militer berada di balik partai politik. Tongkat estafet kekuasaan beralih, dari kalangan militer ke kalangan militer kembali.

Namun kemudian, era diktator disebut-sebut berakhir tahun 2011. Bahkan tahun 2012, negara ini melakukan liberalisasi ekonomi dengan membuka investasi langsung asing.

Lokasi acara KTT ASEAN, Nay Pyi Taw, merupakan kota baru menggantikan Yangon sebagai pusat pemerintahan.

Pemerintah militer membuat kota dan instrastruktur dari nol, letaknya 320 kilometer dari kota Yangon.

Sebuah area hijau dipenuhi semak belukar disulap menjadi ibu kota negara lengkap dengan fasilitas hiburan dan hotel berbintang.

Konstruksi bangunan dan infrastruktur yang didanai pengusaha dalam negeri dan menggandeng investor asing ini dimulai tahun 2002. Hingga pada tahun 2005 kota baru ini resmi dijadikan pusat pemerintahan dan militer.

Sejumlah kegiatan internasional diadakan di sini termasuk KTT ASEAN. Pembangunan infrastruktur di Nay Pyi Taw ini kemudian dinobatkan sebagai "The World"s 10 Fastest-Growing Cities" (Logan, 2013).

Dunia internasional perlahan menerima dan percaya komitmen Myanmar. Pada tahun 2014 itu pula, usai mengetuai KTT ASEAN, media internasional memuji kemajuan di Myanmar.

Channel News Asia, salah satu stasiun televisi berita internasional pernah menayangkan transformasi Kota Yangon menjadi mega city.

Di saluran yang sama pula, perwakilan PBB untuk Myanmar memuji transformasi negara tersebut ke arah demokrasi.

Indonesia pun merasakan keterbukaan Myanmar. Sehari sebelum KTT ASEAN, tepatnya 10 Mei 2014, dilakukan penandatanganan persetujuan pembebasan visa bagi pemegang paspor biasa antara Indonesia dan Myanmar oleh Menteri Luar Negeri kedua negara.

Saya ingat betul, seorang jurnalis yang hadir dengan paspor biasa, saat makan malam, mengeluh sulitnya mendapat visa untuk meliput kegiatan tersebut.

Kembali pada upacara pembukaan KTT ASEAN. Usai acara, sepuluh pemimpin negara ASEAN bergandengan tangan dengan cara menyilangkan tangan di depan dada, berjajar di atas panggung.

Eratnya simbol persaudaraan itu ditutup dengan pertunjukan seni tari-tarian kolaborasi sepuluh negara anggota. Kekompakan itu menunjukkan ASEAN sebagai sebuah keluarga.

Kesamaan visi-misi, budaya-adat istiadat, dan kepentingan nasional membuat forum ini diperhitungkan forum di kawasan lain.

Kudeta militer di Myanmar yang terjadi di tengah pandemi covid-19 telah melukai sejumlah transformasi yang sudah berjalan.

Kekerasan yang menewaskan ratusan warga sipil di negara tersebut telah merusak momen-momen indah keluarga ASEAN yang sudah dibangun sejak bertahun-tahun lamanya.

KTT ASEAN diselenggarakan pada Sabtu, 24 April 2021 di Jakarta, Indonesia. Sejumlah media massa nasional dan internasional menyatakan bahwa Panglima Militer Myanmar Min Aung Hlaing akan hadir untuk memenuhi undangan.

Terlepas sosok Hlaing yang kontroversial dan tidak diakui sebagai perwakilan negara, Indonesia sebagai tuan rumah, harus memperlakukan setara semua tamu yang hadir.

Justru kehadiran Myanmar inilah yang harus dimanfaatkan oleh Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN. Kehadirannya menjadi kesempatan untuk menyelesaikan krisis politik dan keamanan di Myanmar.

Negara-negara anggota perlu mengingatkan kembali tujuan ASEAN, dan mendesak Myanmar menjalankan demokrasi sebagaimana mestinya.

Persoalan domestik di Myanmar, sudah menjadi isu kawasan, terutama terkait pengungsi dan hak asasi manusia. Asia Tenggara saat ini menjadi sorotan dunia internasional.

Konflik regional perlu diantisipasi jangan sampai justru membawa ancaman bagi perdamaian di negara lain termasuk Indonesia.

Kemampuan diplomasi Indonesia perlu ditunjukkan dengan konsisten mendukung rekonsiliasi Myanmar tidak hanya untuk kepentingan nasional tetapi juga kawasan.

Indonesia pernah mendukung Myanmar mendapatkan kepercayaan negara-negara tetangga dan dunia internasional. Upaya ini diakui oleh Myanmar melalui ucapan Presiden U Thein Sein saat makan malam khusus bersama delegasi Indonesia.

"Kami mengapresiasi masyarakat Indonesia yang telah mendukung transformasi dan kelangsungan proses demokratisasi di Myanmar, sebuah peran yang tidak kecil," katanya.

Menjadi tuan rumah pertemuan ASEAN bukan berarti sekedar menyiapkan logistik. Lebih dari itu, Indonesia perlu mengambil peran sentral dengan membangun komunikasi dan beraksi untuk Myanmar dan stabilitas kawasan. Perlu adanya gagasan konstruktif untuk menciptakan kawasan yang tertib dan damai.

Roswita Oktavianti
Jurnalis peliput KTT ASEAN ke-24, Nay Pyi Taw, Myanmar
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Tarumanagara

https://www.kompas.com/global/read/2021/04/23/093547270/ktt-asean-di-jakarta-saatnya-berkomuni-aksi-dengan-myanmar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke