Komunikasi antara pengunjuk rasa pada Minggu (7/2/2021) sebagian besar melalui teks SMS, panggilan telepon, dan dari mulut ke mulut, menurut seorang saksi mata di Yangon.
“Pada Sabtu, kerumunan orang mengumumkan tempat berkumpul pada Minggu, menghasilkan organisasi yang tampaknya membaik,” kata saksi itu.
Baca juga: Internet di Sebagian Myanmar Nyala Lagi Setelah Mati Senegara
Selama lebih dari 50 tahun, Myanmar dijalankan oleh rezim militer isolasionis secara berturut-turut, dan menjerumuskan negara itu ke dalam kemiskinan.
Pihak militer secara brutal menahan perbedaan pendapat. Ribuan kritikus, aktivis, jurnalis, akademisi, dan seniman secara rutin dipenjara dan disiksa pada masa itu.
Pemimpin sipil yang baru-baru ini digulingkan, Suu Kyi, menjadi terkenal di dunia internasional selama perjuangannya selama puluhan tahun melawan kekuasaan militer.
Partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), menang telak dalam pemilu 2015 dan membentuk pemerintahan sipil pertama di Myanmar.
Saat itu banyak pendukung pro-demokrasi berharap langkah itu akan menandai pecahnya kekuasaan militer di masa lalu, dan menawarkan harapan bahwa Myanmar akan terus melakukan reformasi.
NLD secara luas dilaporkan telah memenangkan kontestasi menentukan lainnya dalam pemilihan umum November 2020. Keberhasilan ini memberikan wewenang NLD berkuasa lima tahun kedepan.
Akan tetapi bagi beberapa tokoh militer di partai oposisi, kondisi itu menghancurkan harapan atas partai yang didukungnya untuk dapat mengambil alih kekuasaan secara demokratis.
Perebutan kekuasaan secara tiba-tiba terjadi ketika Parlemen baru akan dibuka, dan setelah berbulan-bulan terjadi peningkatan friksi yang kuat antara pemerintah sipil dan militer.
Konflik yang dikenal sebagai “Tatmadaw”, yang mempersoalkan dugaan penyimpangan pemilihan. Padahal Komisi pemilu negara itu telah berulang kali membantah terjadinya kecurangan pemilih massal.
Baca juga: PBB Lakukan Kontak Pertama dengan Militer Myanmar sejak Kudeta
Ratusan anggota parlemen NLD ditahan di ibu kota Naypyitaw Senin (1/2/2021).
Sejak saat itu, junta mencopot 24 menteri dan deputi dari pemerintah dan menunjuk 11 tokoh dari sekutunya sendiri. Mereka ditempatkan sebagai pengganti yang akan menerapkan peran militer dalam pemerintahan baru.
NLD mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengambil tindakan yang lebih keras untuk memulihkan pemerintah yang digulingkan, dalam pernyataan yang dirilis ke media akhir pekan ini.
Para pemimpin PBB didesak menerapkan "sanksi yang ditargetkan dengan hati-hati terhadap rezim militer, para pemimpinnya, bisnis mereka, dan rekannya." Termasuk mendesak penangguhan hubungan ekonomi antara semua bisnis dengan rezim militer.
Partai politik yang digulingkan itu juga meminta PBB menahan diri dari tindakan yang merugikan rakyat Myanmar. Khususnya, terkait sanksi dan penangguhan bantuan.
"Kami mengundang, menyetujui, dan menuntut dunia segera datang membantu kami."
Para pengamat berpendapat kudeta itu dilakukan sebagai upaya militer menegaskan kembali kekuatannya. Ada juga ambisi pribadi panglima militer Min Aung Hlaing, yang akan mundur tahun ini. Jadi persoalannya bukan sekadar klaim serius atas kecurangan pemilihan umum.
Kudeta Senin telah dikecam secara luas secara internasional. Amerika Serikat menyerukan para pemimpin militer Myanmar untuk "segera melepaskan kekuasaan yang telah mereka rebut, membebaskan para aktivis dan pejabat yang telah mereka tangkap, mencabut semua pembatasan telekomunikasi, dan menahan diri dari kekerasan terhadap warga sipil."
Baca juga: Paus Fransiskus Angkat Bicara soal Kudeta Myanmar dan Panjatkan Doa
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.