BANGKOK, KOMPAS.com - Polisi Thailand telah memanggil tujuh pemimpin aksi protes anti-pemerintah untuk menghadapi tuduhan menghina monarki, sehari sebelum rencana demonstrasi yang digelar untuk menuntut Raja menyerahkan kendali kekayaan kerajaan.
Ini pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun terakhir dakwaan diajukan berdasarkan apa yang disebut hukum lese majeste terkait penghinaan terhadap keluarga kerajaan.
Melalui hukum tersebut, siapa pun yang terbukti bersalah bisa menghadapi hukuman 15 tahun penjara.
Protes yang dimulai pada bulan Juli terhadap Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-o-cha semakin berkembang menjadi tuntutan untuk membatasi kekuasaan Raja Maha Vajiralongkorn, menabrak tabu lama dalam kritik terhadap monarki.
Salah satu dari tujuh orang tersebut, Parit "Penguin" Chiwarak, mengatakan keluarganya telah menerima panggilan lese majeste di samping dakwaan lainnya.
Baca juga: Raja Thailand Bisa Diusir Jika Terbukti Memerintah dari Jerman
"Langit-langit sudah rusak. Tidak ada yang bisa menahan kami lagi," tulisnya di Twitter.
Dia mengatakan kepada Reuters bahwa dakwaan tersebut akan mengungkap kebrutalan sistem feodal Thailand kepada dunia.
Orang lain yang termasuk dalam tujuh orang tersebut adalah pengacara hak asasi manusia Arnon Nampa, yang menjadi orang pertama yang menyerukan reformasi kerajaan pada 3 Agustus, dan Panusaya "Rung" Sithijirawattanakul, seorang pemimpin mahasiswa yang mengajukan 10 tuntutan untuk reformasi kerajaan.
Tidak ada yang segera bersedia untuk dimintai komentar.
Sumber polisi, yang menolak disebutkan namanya karena dia tidak berwenang berbicara dengan media, mengatakan para pemimpin protes memiliki waktu hingga 30 November untuk mengakui tuduhan atas komentar yang dibuat dalam aksi protes pada 19 dan 20 September.
Pengacara Thailand untuk Hak Asasi Manusia mengatakan kepada Reuters bahwa polisi telah memberi tahu kuasa hukum para pemimpin protes.
Baca juga: India, Thailand, dan Singapura Gelar Latihan Maritim Gabungan di Laut Andaman
Panggilan itu datang sehari sebelum pengunjuk rasa mengatakan mereka akan mendatangi kantor yang mengelola kekayaan kerajaan untuk menuntut raja menyerahkan kendali pribadi atas aset tersebut.
Alih-alih menggelar aksi ke Crown Property Bureau, di mana polisi telah mendirikan barikade dan berencana untuk mengerahkan hampir 6.000 petugas, tempat itu diubah pada Selasa (24/11/2020) malam.
Para pengunjuk rasa mengatakan mereka sekarang akan bertemu di markas besar Siam Commercial Bank, di mana raja memiliki saham lebih dari 23 persen, yang merupakan bagian dari aset kerajaan senilai puluhan miliar dollar AS.
"Mari kita rebut kembali properti yang seharusnya menjadi milik rakyat," kata kelompok protes FreeYouth.