KOMPAS.com—Sistem pemilu presiden di Amerika Serikat yang tak seketika menjadikan suara rakyat di popular vote sebagai penentu, memunculkan sejumlah fakta menarik.
Dengan sistem electoral vote yang aplikasinya pun bisa beragam di tiap negara bagian, komposisi penduduk alias demografi di wilayah itu bakal jadi kunci.
Baca juga: Serba-serbi Sistem Pemilu Presiden AS
Mengapa?
Kubu Donald Trump dari Partai Republik, misalnya, mengandalkan dukungan dari latar warga negara yang berhaluan konservatif dan atau cenderung tidak berpendidikan tinggi.
Sebaliknya, kubu Joe Biden dari Partai Demokrat banyak tergantung kepada mereka yang berhaluan lebih bebas, kelompok minoritas, dan atau kalangan muda.
Faktanya, zaman berubah. Kelompok minoritas pun kini tak sedikit yang mengenyam pendidikan tinggi dan jadi pemilik hak pilih di kawasan yang dulunya dikenal sebagai area konservatif.
Situasi ini yang kemudian melahirkan sejumlah negara bagian yang disebut sebagai swing state.
Meski poin electoral vote di negara-negara dalam kategori swing state ini bisa saja tak lebih dari lima—ada juga Pennsylvania yang punya 20 poin dan Florida 29 poin—kemenangan kandidat di situ bakal sangat menentukan hasil akhir electoral vote.
Muncullah skenario-skenario pemenangan berbasis demografi terutama di swing state untuk pemenangan Pemilu Presiden AS 2020, baik dari kubu Trump maupun Biden.
Selengkapnya soal korelasi demografi dan skenario pemenangan ini dapat dibaca di JEO Kompas.com Trump vs Biden, Siapa Bakal Menangi Pilpres AS 2020?
Berikut ini sejumput gambaran situasi demografi Amerika Serikat untuk Pemilu Presiden AS 2020 itu:
Presiden Donald Trump mendapat dukungan loyal dari blok pemilih pria berkulit putih tanpa pendidikan universitas atau sering juga disebut pemilih berkerah biru.
Blok pemilih industrial ini tinggal di kota kecil atau daerah pedesaan pertanian. Trump juga setia didukung oleh pemilih evangelis konservatif.
Namun, dukungan dari blok pemilih ini jelas terlihat melemah jika mengacu ke hasil-hasil survei terutama di negara bagian Rust Belt.
Walau masih tertinggal, Biden berhasil memotong keunggulan Trump dari 37 poin pada Pilpres 2016 menjadi tinggal 23 poin menurut survei terbaru Siena College/The New York Times yang dirilis pada 20 Oktober 2020.
Akibatnya, peluang Trump untuk menang semakin rumit karena dia tidak dapat memperluas basis pemilihnya.
Adapun kantung suara capres Demokrat Joe Biden adalah pemilih yang tinggal di kota besar, pemilih minoritas seperti Hispanik dan Afro-Amerika, serta pemilih muda.
Hal ini menjadikan pemilih kulit putih baik pria dan wanita yang berpendidikan universitas sebagai swing voters pada Pilpres AS 2020. Mereka-mereka ini tinggal di kawasan suburban.
Pemilih suburban dikenal sebagai loyalis tradisional Partai Republik terutama sejak mantan Presiden Ronald Reagan berkuasa pada 1981. Demografi pemilih suburban awalnya didominasi pemilih kulit putih berpendidikan universitas.
Memasuki dekade 2010, pemilih minoritas seperti warga Afro-Amerika, Asia-Amerika, dan Hispanik mulai berpindah ke suburban, menjadikan kawasan ini sangat beraneka ragam.
Pemilih minoritas adalah kantung suara Partai Demokrat. Kehadiran mereka mulai mengikis dukungan Partai Republik di suburban.
Loyalitas dukungan yang lama dinikmati Partai Republik semakin melemah pada Pilpres 2016 ketika Hillary Clinton secara mengejutkan menang di puluhan distrik suburban.
Baca juga: Siapa Bilang Presiden AS Dipilih Langsung oleh Rakyat?
Akhirnya, suara Partai Republik di suburban kolaps pada Pemilu Sela atau Midterm 2018. Lewat pemilu ini, Demokrat merebut kembali kontrol House of Representatives (DPR) melalui kemenangan 38 kandidat di daerah suburban yang tersebar dari Phoenix, Atlanta, Minneapolis, Oklahoma City, Houston, hingga Dallas.
Kemarahan terhadap retorika ofensif Trump, kebohongan tanpa henti Trump, perlakuan tidak senonoh Trump terhadap wanita, skandal demi skandal pemerintahannya, dan kekacauan di Gedung Putih diduga jadi alasan pemilih suburban mengganti haluan politik.
Trump menang tipis di kawasan suburban pada Pilpres 2016 dengan selisih 5 poin. Namun, kemenangan ini diproyeksi hampir pasti tidak akan terulang lagi. Bahkan, Trump terancam menjadi capres dengan kekalahan terbesar di suburban.
Padahal, tanpa suburban hampir mustahil bagi presiden berusia 74 tahun itu untuk mengalahkan Biden.
Sejumlah survei dengan metode live interview yang dinilai lebih akurat menunjukkan Biden unggul dua digit antara 15 hingga 20 poin atas Trump di kawasan suburban.
Keunggulan ini sangat luar biasa karena tidak ada capres Demokrat dalam sejarah yang menang lebih dari 5 poin di kawasa suburban. Bahkan, Barack Obama yang menang telak suara nasional pada Pilpres 2008 hanya unggul 2 poin di kawasan suburban.
Selain dukungan pemilih suburban, faktor lain yang membuat Biden begitu perkasa di aneka survei adalah dukungan menakjubkan dari pemilih wanita, terutama yang tinggal di kawasan suburban.
Rataan survei memperlihatkan pemilih wanita memberikan Biden keunggulan telak dua digit atas Trump, hingga kisaran 25 poin. Angka ini sangat fantastis.
Baca juga: Ada 11 Swing State di Pemilu Presiden AS 2020, Itu Negara Bagian Mana Saja?
Jika data survei ini terwujud dalam pemilu yang sesungguhnya pada Selasa (3/11/2020) waktu setempat, angka tersebut akan memecahkan rekor keunggulan 24 poin yang didapat Presiden Lyndon Johnson dari Partai Demokrat dari kemenangan telak di Pilpres 1964.
Selain Johnson, kandidat lain dari Partai Demokrat hanya dapat memenangi suara pemilih wanita paling banyak dengan keunggulan 15 poin.
Tidaklah mengejutkan jika Biden nantinya unggul di swing state yang memiliki jumlah besar pemilih wanita, khususnya yang berkulit putih, yaitu di trio Rust Belt—Pennsylvania, Wisconsin, dan Michigan.
Dengan hampir pastinya Hakim Amy Coney Barrett menjadi Hakim Agung AS, pemilih wanita pun diperkirakan semakin termotivasi untuk memberikan suara ke Biden.
Pemilih wanita ini khawatir di Hakim Barrett yang berideologi konservatif bersama lima Hakim Agung konservatif lain akan mencabut Keputusan Mahkamah Agung Roe vs Wade yang menjamin kebebasan bagi kaum wanita AS untuk melakukan aborsi.
Pemilih lansia yang cenderung lebih konservatif sudah lama menjadi basis suara Partai Republik. Jumlah terbesar pemilih lansia ada di Florida dengan jumlah 20 persen populasi.
Pemilih lansia juga tersebar di trio Rust Belt krusial, yaitu Pennsylvania, Michigan, dan Wisconsin.
Baca juga: Peta dan Analisis Swing State di Pemilu Presiden AS 2020
Pandemi Covid-19 menghancurkan dukungan pemilih lansia ke Donald Trump. Berang dengan tindak tanduk Trump yang tidak menanggapi serius virus corona, pemilih lansia yang masuk kategori rawan terinfeksi diprediksi mengubah pilihannya ke Joe Biden.
Biden adalah capres Demokrat pertama sejak Pilpres 1996 yang diproyeksi mendapat dukungan tinggi dari pemilih lansia.
Pada Pilpres 2016, Trump memenangi hati pemilih lansia dengan selisih satu digit. Survei-survei terbaru menunjukkan kondisi berbalik drastis.
Biden yang juga adalah lansia berusia 77 tahun unggul sekitar 8-10 poin atas Trump dalam aneka survei untuk pemilih lansia. Saat ini, 25 persen demografi pemilih AS adalah pemilih lansia.
Tanpa dukungan krusial dari pemilih berusia di atas 65 tahun ini, suami Melania Trump bagaikan pungguk merindukan bulan untuk melanjutkan kepresidenannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.