Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warga Muslim dan Hindu Myanmar Tidak Punya Hak Pilih

Kompas.com - 29/08/2020, 18:03 WIB
Miranti Kencana Wirawan

Editor

"Sentimen anti-muslim muncul dalam bentuk diskriminasi di sekolah, tempat kerja atau dalam mendapat akses untuk pekerjaan di pemerintahan,” katanya.

Baca juga: 99 Imigran Rohingya Diselamatkan Indonesia, Uni Eropa Ikut Beri Bantuan

Mereka yang sudah mendapat KTP pun berpotensi didiskriminasi, lantaran kartu identitas di Myanmar menyantumkan asal usul etnis. Ketika Maung Cho mendapat kartu identitasnya, di sana tertulis dia beretnik "India-Muslim.”

"Pasti karena janggut saya,” kata dia.

Seperti warga "berdarah campuran” yang lain, dia harus menjalani pemeriksaan yang lebih ketat, bahkan mengantri di jalur khusus ketika berada di kantor imigrasi.

Nasib serupa dialami warga Hindu-Myanmar yang berjumlah 250.000 orang. Tun Min (28) misalnya harus menunggu 10 tahun untuk mendapat kartu identias.

Belum lama ini dia mengunggah video di Facebook untuk mengisahkan diskriminasi yang dialami penduduk minoritas.

"Saya mengemudikan taksi selama delapan tahun, tapi hanya bisa bekerja malam hari, karena saya tidak bisa mendapat surat izin mengemudi tanpa kartu identitas,” ujarnya.

Baca juga: Pria Rohingya di Kamp Pengungsi Bangladesh Meninggal karena Covid-19

Kebencian antar-etnis

Label yang dianggap paling merugikan adalah "Bengali,” istilah yang ramai digunakan warga mayoritas di Myanmar untuk kaum Rohingya.

Sebanyak 600.000 warga Rohingya yang bertahan di Myanmar hidup dalam kondisi "apartheid,” seperti yang digambarkan Amnesty International. Kewarganegaraan dan hak sipil mereka tidak diakui pemerintah.

Mathieson mengatakan ada berbagai laporan dari berbagai warga muslim dari etnis lain yang juga dipaksa untuk mengadopsi Bengali sebagai identitas etnisnya. Dia mengatakan birokrasi di Myanmar "rasis dan diskriminatif.”

Seorang pejabat imigrasi yang tidak ingin disebut namanya, membantah tuduhan korupsi dan diskriminasi. Kepada AFP dia mengklaim kartu identitas diberikan sesuai hukum yang berlaku.

Namun buat Maung Cho, rasisme terhadap warga muslim kini lebih parah ketimbang di era kekuasaan junta militer. Dia mengatakan warga muslim "kecewa dan mengalami depresi.”

Saat ini kampanye untuk memboikot pemilihan umum terus berkembang di Myanmar. Dan, hanya ada dua kandidat Liga Nasional untuk Demokrasi(NLD) yang beragamakan Islam.

Baca juga: Terombang-ambing, Nasib Rohingya di Tengah Ketatnya Perbatasan Asia Tenggara

Sithu Maung termasuk 1,143 bakal calon anggota legislatif dalam pemilu mendatang. Pada 2015 silam, NLD tidak mengajukan bakal calon beragama Islam sama sekali.

Bekas tahanan politik itu membantah situasi saat ini lebih parah ketimbang di zaman kekuasaan militer. "Mereka sebaiknya merasa optimis untuk masa depan. NLD baru berkuasa sejak lima tahun.”

Tapi optimisme sulit tumbuh di kalangan warga minoritas seperti May Thandar Maung, "meski saya dilahirkan di sini, saya tidak bisa memilih dan itu adalah diskriminasi,” kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com