MINNEAPOLIS, KOMPAS.com - Kasus rasisme pada orang kulit hitam di kota Minneapolis, negara bagian Minnesota, Amerika Serikat (AS), sudah marak terjadi bahkan sebelum kasus pembunuhan George Floyd.
Selama bertahun-tahun kepolisian dan peradilan pidana di Minneapolis memiliki hubungan buruk dengan masyarakat Afrika-Amerika, kata para aktivis dilansir dari Associated Press (AP).
Kematian George Floyd kemudian membuat amarah para warga kulit hitam Minneapolis memuncak. Mereka melancarkan demonstrasi yang berujung kericuhan, hingga meluas ke hampir seluruh AS.
Baca juga: Rusuh Kematian George Floyd Meluas Hampir ke Seluruh AS
"Kemajuan dan perubahan bisa surut dan mengalir," kata Jeremiah Ellison, yang menduduki kursi Dewan Kota setelah berpartisipasi dalam protes sebelumnya, terhadap pembunuhan orang Afrika-Amerika di Minnesota oleh polisi.
Kerusuhan yang terjadi empat malam pekan ini - termasuk pembakaran kantor polisi - "membuktikan kepada saya bahwa kami telah mengalami kemunduran hingga di titik 2015," lanjut Ellison.
Ia merujuk pada tahun ketika terjadi demonstrasi atas kematian Jamar Clark, seorang pria kulit hitam yang terbunuh oleh polisi.
Minneapolis merupakan kota berpenduduk hampir 430.000 jiwa, terdiri dari 60 persen orang kulit putih, 19 persen kulit hitam, dan 9 persen Hispanik.
Kota ini memiliki sejarah panjang kesenjangan ekonomi dan pendidikan yang memarginalkan penduduk kulit hitam selama beberapa dekade, meski mulai menunjukkan perbaikan.
Baca juga: Kematian George Floyd Picu Kerusuhan Minneapolis, Kantor Polisi Dibakar, Toko-toko Dijarah
Dilansir dari AP, Minneapolis menunjuk kepala polisi kulit hitam pertamanya hampir tiga tahun lalu, setelah lambatnya kemajuan untuk menjadikan departemen itu lebih inklusif.
Kemudian awal tahun ini sebuah gugus tugas di seluruh negara bagian AS yang terdiri dari aktivis, orang-orang yang mewakili korban kekerasan polisi, dan para pemimpin penegak hukum, mengeluarkan rekomendasi untuk reformasi.
Selain Jamar Clark, salah satu korban lainnya adalah Philando Castile yang ditembak polisi Hispanik di pinggiran kota pada 2016.
Nekima Levy Armstrong, pengacara hak-hak sipil dan mantan Presiden Minneapolis NAACP mengakui adanya kemajuan itu, tapi dia mengatakan masih banyak kebiasaan lama yang sudah mengakar.
"Sistem itu tidak berubah," kata Armstrong dikutip dari AP. "Budaya dalam Departemen Kepolisian Minneapolis tidak berubah."
Baca juga: Kematiannya Picu Demonstrasi Besar, Siapakah George Floyd?
Departemen Kepolisian Minneapolis berisikan lebih dari 800 petugas yang masih didominasi kulit putih, ujar Armstrong.
Departemen tidak merilis jumlah anggota terbarunya, tetapi Star Tribune pada 2014 melaporkan bahwa pasukan kepolisian termasuk taruna dalam pelatihan lapangan, terdiri dari 78,9 persen kulit putih, 9,2 persen kulit hitam, 5,2 persen Asia, 4,1 persen Hispanik, dan 2,5 persen Indian-Amerika.
Beberapa petinggi termasuk mantan Wali Kota RT Rybak dan Senator Minnesota Jeff Hayden, menyalahkan serikat kepolisian kota karena membiarkan budaya melindungi polisi brutal dan tidak melakukan reformasi.
Presiden serikat kepolisian Letnan Bob Kroll tidak menanggapi telepon AP yang meminta komentar.
Kericuhan di Minneapolis mencerimkan rasa frustrasi atas kenyataan ini meski ada perkembangan, kata Teqen Zea-Aida, seorang aktivis senior di kota itu.
Menurutnya, foto-foto kerusuhan sudah menuntut respons publik. Namun ia mengimbau agar protes dilakukan secara online mengingat risiko tertular virus corona.
Baca juga: BERITA FOTO: Kerusuhan Unjuk Rasa atas Kematian George Floyd di AS
Ia merujuk pada perempuan kulit hitam berusia 14 tahun yang diculik, dipukuli, dan dibunuh pada 1955, karena dituduh bersiul pada seorang wanita kulit putih di Mississippi
Selain memicu gejolak di Minneapolis, kematian Floyd juga menarik perhatian AS secara nasional, dan dibandingkan dengan kasus Eric Garner.
Ia merupakan pria kulit hitam yang tewas di New York pada 2014 setelah dipiting oleh polisi. Garner juga sempat berkata dia tidak bisa bernapas.
Penundaan dalam penangkapan Chauvin juga kemungknan turut memicu protes, yang menjadi lebih gencar dari kasus kematian Clark atau Castile.
Pihak berwenang menangkap Chauvin pada Jumat (29/5/2020) dan menjeratnya dengan pasal berlapis. Sementara itu tiga polisi lainnya yang terlibat belum dituntut, tetapi penyelidikan masih berlanjut.
Mereka telah dipecat pada Selasa (26/5/2020) tak lama setelah video kematian George Floyd beredar.
Sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat berharap protes dapat terus berlangsung untuk mendesak penangkapan dan menuntut tiga polisi lainnya.
Baca juga: Polisi Pembunuh George Floyd Sering Bermasalah, Ini Deretan Kasusnya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.