PARIS, KOMPAS.com - Tinggal di Kota Toulouse, barat daya Perancis membuat Annisa Dewi Febryandini (27), salah satu Warga Negara Indonesia (WNI) yang tengah hamil anak pertamanya berjuang sendiri mencapai klinik pemeriksaan.
Pasalnya, aturan lockdown akibat wabah virus corona di negeri itu memaksa siapa saja yang hendak memeriksakan kehamilan untuk pergi sendiri tanpa ditemani pendamping. Siapa pun orangnya.
Padahal, jarak antara tempat tinggal Annisa yaitu di distrik Les Chalets dan klinik dokter kandungan yang ditujunya, Clinique Ambroise Paré cukup jauh, sekitar 8 kilometer dalam satu kali perjalanan.
Kondisi hamil trimester awal yang membuatnya pusing, mual dan muntah juga menjadi salah satu faktor yang dianggap cukup berat untuk bisa melakukan kontrol ke dokter.
"Saya rasa hal paling berat saat ini adalah harus periksa (kehamilan) sendiri, tidak boleh ditemani siapa pun. Jadi, setiap ke klinik, ke lab (untuk) tes darah, saya harus pergi sendiri. Itu aturan dari dinas kesehatan setempat," ungkap Annisa kepada Kompas.com melalui WhatsApp pada Minggu (3/5/2020).
Aturan itu dikatakan Annisa cukup ketat dan terdapat sanksi bagi siapa saja yang melanggar.
Baca juga: Hendak Berlibur ke Perancis di Tengah Lockdown Virus Corona, Wisatawan Kaya Dipulangkan
Selain aturan tentang pemeriksaan kondisi kehamilan, pemerintah Perancis secara umum memang telah memberlakukan aturan ketat bagi siapa saja yang hendak keluar rumah.
Syaratnya, dengan mengisi surat izin keluar yang formatnya diberikan dari pemerintah pusat.
Terdapat lima kondisi yang memungkinkan orang boleh keluar dari rumah mereka: pergi ke dokter untuk berobat, membeli makanan atau kebutuhan rumah tangga, berolahraga (termasuk membawa hewan piaraan olahraga), mengasuh anak dan pekerjaan profesional.
"Di jalan selalu ada aparat yang berjaga dan siap menanyakan sewaktu-waktu tentang surat izin itu. Kalau tidak bisa menunjukkan (surat) itu, akan dikenakan denda kurang lebih 135 euro (sekitar Rp 2 juta)."
Meski kondisinya agak berat, Annisa tetap bersyukur dirinya dan suami bisa bersama satu rumah dalam kondisi sehat dan aman.
Ketika ditanya apakah dia mendapatkan diskriminasi rasial di Perancis, mengingat xenophobia atau diskriminasi terhadap ras Asia meningkat sejak virus corona melanda pertama kali di China dan menyebar ke seluruh dunia, Annisa yang seorang muslimah dan memakai hijab menjawab,
"Saya pribadi merasa aman, tidak pernah mengalami diskriminasi rasial atau pun hal-hal semacam itu di sini."
Baca juga: Selain AS, Perancis Juga Akan Uji Coba Transfusi Plasma Darah dari Pasien Sembuh Covid-19
Saat wabah virus corona melanda Perancis di minggu kedua bulan Maret lalu, murid sekolah di Perancis saat itu baru saja menikmati masa libur musim dingin. Kegiatan belajar-mengajar pun masih berjalan rutin.
Namun, sekolah dan kampus sudah memberitahukan lewat situs web dan e-mail kepada para murid bahwa virus corona sudah mencapai Eropa. Saat itu episentrum dari pandemi yang sangat menular ini berada di Italia.
Annisa yang melanjutkan studi Bahasa Perancis di Université Toulouse II Jean Jaurès ini juga mendapatkan serangkaian informasi terkini dari pihak kampus terkait wabah corona. Meski, kegiatan belajar mengajar masih berjalan normal.
Tak lama, selang beberapa hari, bagian akademik kampus menginformasikan bahwa mahasiswa yang kembali dari berlibur atau berkunjung di negara-negara terdampak Covid-19 tidak diperkenankan masuk kelas.
"Mereka harus stay di rumah saja selama 14 hari," ujar Annisa. Alumni Sastra Arab Universitas Sebelas Maret yang meraih gelar Cumlaude itu kemudian menceritakan kalau perkuliahannya terpaksa diliburkan karena kasus infeksi di Perancis meningkat pesat.
"Karena semakin memburuk dan korban semakin banyak, akhirnya pemerintah pusat memberlakukan confinement atau bisa juga dikatakan karantina/lockdown mulai 17 Maret lalu," papar Annisa.
Sampai sekarang pun pemerintah Perancis masih menjalankan lockdown yang terus menerus dievaluasi dan diperpanjang sampai 11 Mei mendatang.
Perkuliahan Annisa pun akhirnya diliburkan sejak awal lockdown. Seluruh aktivitas belajar-mengajar dialihkan melalui daring termasuk untuk ujiannya.
Pihak kampus dan pemerintah Perancis pun memberi perhatian bagi mahasiswa yang tidak punya laptop pribadi dengan disediakannya unit laptop untuk mereka karena selama lockdown, kampus ditutup dan fasilitas komputer tidak bisa digunakan.