Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menghitung Dampak Konflik di Laut Merah terhadap Ekonomi Dunia

Bahkan dalam 10 tahun terakhir, Iran, Saudi, dan Qatar juga terlibat dalam konflik.

Hari-hari ini, episentrum konflik adalah di Gaza, Palestina. Israel terus melakukan pemboman yang sudan memakan korban 30.000 orang dan lebih dari setengah adalah wanita dan anak-anak.

Selain itu di Laut Merah akibat tindakan Yaman melarang semua kapal yang menuju/dari Israel melewati Laut Merah. Kapal yang melintas berisiko disandera atau bahkan dijadikan sasaran rudal antikapal dari Yaman.

Tindakan Yaman dilakukan di jalur maritim utama dunia yang tiap hari dilalui ratusan kapal keluar masuk. Jalur yang menghubungkan Eropa dan Asia di Babul Mandeb (Pintu Mandeb), selat kecil yang ada di pantai Yaman.

Karena posisi Yaman sangat strategis dan celah Babul Mandeb sangat sempit, maka cukup bermodalkan speedboat atau artileri dan drone, Yaman sudah bisa melakukan aksi operasi pencegatan kapal yang jadi sasarannya.

Aksi Yaman ini tak main-main, Reuters melaporkan bahwa aktifitas pelabuhan Eliat di Israel langsung turun 85 persen. Ini tentu jadi pukulan berat bagi Israel yang sedang menghadapi konflik di Gaza.

Yaman melalukan aksi ini sebagai balasan atas aksi Israel di Gaza. Yaman menyatakan baru akan berhenti jika aksi Israel di Gaza dihentikan.

Tindakan Yaman ini tentu saja bisa dianggap melanggar hukum internasional dan kebebasan maritim dunia.

Namun dengan entengnya para juru bicara Yaman dari militer dan politisi mengatakan bahwa hukum internasional sudah mati di Gaza – merujuk tindakan Israel terhadap Gaza yang juga tak pernah mengindahkan hukum internasional.

Negara-negara Barat yang meskipun tak lagi menyebut Yaman melanggar hukum internasional karena sikap standar ganda mereka, tetap meloloskan resolusi mengutuk Yaman di Dewan Keamanan PBB, meski China dan Rusia absen.

Di forum sama beberapa hari sebelumnya, insiatif untuk meloloskan resolusi untuk Gaza diveto oleh Amerika serikat.

Amerika mengumumkan koalisi untuk menghadapi aksi Yaman dengan menyertakan banyak negara Eropa dan Timur Tengah. Namun rupanya tak ada negara yang ingin terlibat dan diakhir hanya Amerika dan Inggris saja yang akan melakukan perlawanan terhadap Yaman.

Inggris pun tidak bisa melakukan operasi secara maksimal karena mengalami masalah recruitment untuk armada kapal induknya, sehingga dipastikan tak akan ada kapal induk Inggris yang terlibat.

Sementara konflik bereskalasi saat kapal perang Amerika menyerang dua speedboat Yaman yang menewaskan 10 tentara Yaman. Saat ini sudah puluhan kapal terkena serangan rudal Yaman, termasuk kapal perang AS.

Sementara Amerika sudah membom beberapa kota di Yaman termasuk Ibu Kotanya Sana.

Pemboman Amerika terhadap Yaman tak membuahkan hasil. Dari berbagai sumber diakui bahwa Amerika tak punya data intelijen tentang lokasi markas militer Yaman dan lokasi penyimpanan amunisi dan rudal.

Kontur geografis Yaman bahkan jadi trauma Amerika karena mengingatkan mereka dengan petualangan di Afganistan untuk menumbangkan Taliban.

Namun 20 tahun kemudian, AS harus membiarkan Taliban kembali mengambil alih Afganistan dan membuat Amerika mengalami kerugian triliunan dollar sebagai biaya operasi militer di Afganistan dan menyisakan ribuan tentara AS tewas.

Untuk menemukan lokasi missile dan menghancurkannya hanya bisa dengan operasi militer melibatkan pasukan darat. Sementara kondisi saat ini di mana AS akan menghadapi Pemilu pada November 2024, jelas bukan situasi yang sangat menguntungkan.

Amerika sudah lepas tangan terhadap Ukraina karena tak ada lagi anggaran untuk membiayai perang tersebut. Tentu saja tak ada politisi di Amerika yang nekat membuka front perang baru dengan Yaman.

Jika terjadi perang terbuka antara Yaman dan Amerika, maka praktis lalu lintas maritim di Selat Merah akan berhenti total. Tak akan ada kapal cargo yang nekat masuk ke zona perang dan jadi korban.

Perusahaan asuransi dunia akan menolak mengasuransikan kapal dan muatannya dan tak ada pemilik kapal yang mau kehilangan kapal terkubur di dasar Laut Merah.

Eropa sudah terpukul ekonominya sejak perang Ukraina dan kini banyak didera aksi demo rakyat yang meminta perang dihentikan dengan menghentikan bantuan Eropa ke Ukraina.

GDP Jerman turun pada 2023 dan Rusia menggantikan Jerman sebagai negara dengan GDP terbesar dalam Purchasing Power Parity.

Banyak pabrik di Jerman tutup dan harus relokasi ke tempat lain yang harga bahan bakarnya lebih murah.

Dengan ditutupnya Laut Merah, maka produk dari Eropa yang sudah menjadi paling mahal di dunia akan mengalami kenaikan harga lagi dan tak bisa laku di pasar dunia. Akibatnya banyak pabrik akan berhenti daripada terus berproduksi dan tak bisa diserap pasar.

Sementara produk negara Asia, yaitu China, Jepang, dan Korea yang tak terlalu terdampak dengan perang Rusia dan Ukraina dan bisa tetap mendapatkan minyak dan gas dengan harga murah, masih butuh waktu untuk menerima dampak ekonomi akibat konflik di Laut Merah.

Namun karena konflik di Laut Merah, maka ongkos logistik produk mereka akan naik berlipat untuk sampai ke Eropa.

Eropa yang sudah mengalami resesi tak akan mampu menyerap semua produk dari Asia. Orang akan menunda ganti ponsel dari Korea, ganti mobil dari Jepang, dan ganti fashion dari China. Pada akhirnya negara eksportir Asia juga akan merasakan dampak dari konflik tersebut.

Dunia menghadapi situasi dilematis. Badan dunia seperti PBB sudah dibuat mandul karena tindakan Israel dan akibatnya berbagai resolusi badan dunia ini sudah tak lagi dianggap oleh banyak negara karena standar ganda yang diterapkan.

Dunia menghadapi ancaman krisis ekonomi dan mungkin saat ini tiba di titik nadir baru. Warga dunia akan merasa perlu membuat tatanan dunia baru yang lebih adil. Tantanan dunia yang lebih adil akan meminimalkan potensi konflik antarbangsa.

https://www.kompas.com/global/read/2024/01/18/080957970/menghitung-dampak-konflik-di-laut-merah-terhadap-ekonomi-dunia

Terkini Lainnya

WHO: Tak Ada Pasokan Medis Masuk ke Gaza Selama 10 Hari

WHO: Tak Ada Pasokan Medis Masuk ke Gaza Selama 10 Hari

Global
PM Slovakia Jalani Operasi Baru, Kondisinya Masih Cukup Serius

PM Slovakia Jalani Operasi Baru, Kondisinya Masih Cukup Serius

Global
Warga Sipil Israel Kembali Berulah, Truk Bantuan di Tepi Barat Dibakar

Warga Sipil Israel Kembali Berulah, Truk Bantuan di Tepi Barat Dibakar

Global
13 Negara Ini Desak Israel agar Menahan Diri dari Invasinya ke Rafah

13 Negara Ini Desak Israel agar Menahan Diri dari Invasinya ke Rafah

Global
Kera Tergemuk di Thailand Mati karena Sering Diberi Permen dan Minuman Manis

Kera Tergemuk di Thailand Mati karena Sering Diberi Permen dan Minuman Manis

Global
Israel: Kasus Genosida di Pengadilan PBB Tak Sesuai Kenyataan

Israel: Kasus Genosida di Pengadilan PBB Tak Sesuai Kenyataan

Global
Minim Perlindungan, Tahanan di AS yang Jadi Buruh Rawan Kecelakaan Kerja

Minim Perlindungan, Tahanan di AS yang Jadi Buruh Rawan Kecelakaan Kerja

Internasional
Korut Tembakkan Rudal Balistik Tak Dikenal, Ini Alasannya

Korut Tembakkan Rudal Balistik Tak Dikenal, Ini Alasannya

Global
Siapa 'Si Lalat' Mohamed Amra, Napi yang Kabur dalam Penyergapan Mobil Penjara di Prancis?

Siapa "Si Lalat" Mohamed Amra, Napi yang Kabur dalam Penyergapan Mobil Penjara di Prancis?

Internasional
Tekno-Nasionalisme Xi Jinping dan Dampaknya pada Industri Global

Tekno-Nasionalisme Xi Jinping dan Dampaknya pada Industri Global

Global
2 Polisi Malaysia Tewas Ditembak dan Diserang, Pelaku Disebut Terafiliasi Jemaah Islamiyah

2 Polisi Malaysia Tewas Ditembak dan Diserang, Pelaku Disebut Terafiliasi Jemaah Islamiyah

Global
AS Sebut Dermaga Terapungnya Mulai Dipakai untuk Kirim Bantuan ke Gaza

AS Sebut Dermaga Terapungnya Mulai Dipakai untuk Kirim Bantuan ke Gaza

Global
Suara Tembakan di Dekat Kedutaan Israel, Polisi Swedia Menahan Beberapa Orang

Suara Tembakan di Dekat Kedutaan Israel, Polisi Swedia Menahan Beberapa Orang

Global
Kharkiv Jadi Kota Kedua Ukraina yang Sering Diserang Drone Rusia

Kharkiv Jadi Kota Kedua Ukraina yang Sering Diserang Drone Rusia

Global
China Disebut Berencana Kembangkan Reaktor Nuklir Terapung di Laut China Selatan

China Disebut Berencana Kembangkan Reaktor Nuklir Terapung di Laut China Selatan

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke