Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kekuatan China Makin Kuat di Asia Tenggara, Bagaimana Posisi Indonesia?

BEIJING, KOMPAS.com - Asia Tenggara dianggap menerima dampak paling besar dari kebijakan luar negeri asertif yang dilakukan Presiden China Xi Jinping.

Itu sebabnya Asia Tenggara sering disebut sebagai “halaman belakang” strategis bagi China, tidak terkecuali Indonesia.

Seiring meningkatnya kekuatan China, kegelisahan Amerika Serikat (AS) pun muncul.

Namun sekarang, setelah beberapa tahun posisinya berubah-ubah, AS kembali mencoba menggandeng Asia Tenggara.

Ketika menghadiri KTT tahunan ASEAN pekan ini di Kamboja, Presiden Joe Biden menjadi pemimpin AS pertama yang melakukan perjalanan itu sejak 2017. Tahun lalu, dia juga hadir secara virtual.

Kemudian, dia akan ke Indonesia, pemain penting lainnya di kawasan itu.

Dia dijadwalkan bertemu pemimpin China Xi Jinping sebelum mereka menghadiri pertemuan G20.

Tetapi kini, AS bekerja di lingkungan diplomatik yang lebih berbahaya ketimbang dahulu.

ASEAN, yang pernah dianggap penting terkait diplomasi di Asia-Pasifik, telah berjuang agar tetap efektif di dunia yang semakin terpolarisasi.

Organisasi itu membentuk dirinya sebagai zona perdamaian dan netralitas, di mana 10 negara anggotanya mencari konsensus, menghindari mengkritik satu sama lain, dan merasa bebas untuk melibatkan kekuatan berbeda.

Sekretariatnya yang kecil dan lemah, serta tidak adanya proses untuk menegakkan keputusan pada anggota, mencerminkan pola pikir ini.

Hal itu berjalan dengan baik, meskipun ada konsensus global luas dipimpin AS yang memperjuangkan perdagangan dan pertumbuhan.

Tetapi kedatangan China di pasar global dan pengaruhnya yang berkembang dari awal 2000-an, muncul bersamaan dengan berkurangnya perhatian AS, karena berfokus pada Timur Tengah.

China memulai kampanye keramahannya di kawasan Asia Tenggara untuk mendapatkan dukungan, mengikuti mantra mantan pemimpin Deng Xiaoping "sembunyikan kekuatanmu, tunggu waktumu".

Namun di bawah Xi, yang telah berkuasa selama 10 tahun, kekuatan China tidak lagi tersembunyi.

Dalam dekade terakhir, pendudukan dan pembangunan militer China di pulau-pulau karang di Laut China Selatan telah membawanya ke dalam konflik langsung dengan negara-negara lainnya yang mengklaim kawasan itu, khususnya Vietnam dan Filipina.

Upaya ASEAN untuk membuat China menyetujui "kode etik", di wilayah yang disengketakan itu, tidak membuahkan hasil.

Beijing telah menghentikan negosiasi selama 20 tahun dan menolak putusan pengadilan internasional pada 2016, yang mengatakan bahwa klaim China atas kawasan itu tidak valid.

Penolakan itu sama seperti yang dilakukan Beijing pada masalah yang disebabkan oleh pembangunan bendungan berskala besar di Sungai Mekong.

Namun, negara-negara yang tergabung dalam ASEAN ‘lengket’ dengan China.

Pertama, China sangat penting secara ekonomi, dan sangat kuat secara militer, sehingga hanya sedikit yang berani menghadapinya secara terbuka.

Bahkan di Vietnam, yang berperang dengan China 43 tahun yang lalu dan di mana sentimen anti-China memuncak, partai komunis yang berkuasa berhati-hati ketika berhadapan dengan tetangga raksasanya.

Mereka berbagi wilayah di perbatasan yang panjang. China adalah mitra dagang terbesar Vietnam dan mata rantai penting dalam rantai pasokan, yang membuat ekspornya mengalahkan dunia.

Kedua, secara efektif China telah menghancurkan persatuan ASEAN dengan memilih negara-negara yang lebih kecil, seperti Laos dan Kamboja, yang sekarang sangat bergantung pada donasi Beijing.

Hal itu membuat kedua negara, kurang lebih, bergantung secara ekonomi, politik, dan kemiliteran kepada China.

Kondisi ini sudah jelas, bahkan sejak 2012, ketika Kamboja berkesempatan menjadi pemimpin ASEAN dan memblokir pernyataan akhir yang kritis terhadap posisi Beijing di Laut China Selatan.

Sementara sikap hati-hati China mungkin terdengar seperti kabar baik bagi AS, kenyataannya negara-negara Asia Tenggara juga kecewa dengan Washington.

Mereka melihat AS sebagai mitra yang tidak dapat diandalkan, terlalu sibuk dengan hak asasi manusia dan demokrasi.

AS memaksa kawasan itu untuk menerima langkah-langkah ekonomi yang sangat tidak populer dan keras setelah krisis keuangan Asia 1997.

Fokus AS hari ini pada aliansi Quad bersama Jepang, India, dan Australia, juga dianggap telah melemahkan ASEAN, membuatnya merasa terjebak di antara dua pihak yang kuat.

Kesediaan AS untuk menantang China di Asia juga membuat ASEAN takut karena konfrontasi negara adidaya itu membawa banyak kerugian buat mereka.

Dalam semua proposalnya, tidak ada pemerintahan AS yang bersedia mencapai perjanjian perdagangan bebas - dan itu tentu saja memperburuk kesepakatan untuk kawasan yang mungkin paling bergantung pada perdagangan di dunia.

Hubungan dengan China, di sisi lain, telah menciptakan blok perdagangan terbesar di dunia, yang menghubungkan ASEAN, China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru.

Bahkan Indonesia, negara ASEAN terbesar dan dengan kebijakan luar negeri yang paling skeptis terhadap China, di bawah Presiden Joko Widodo dengan penuh semangat mencari investasi, pinjaman, dan teknologi China.

AS mungkin masih bisa bernapas lega karena ASEAN masih akan melibatkan kekuatan lain sebanyak mungkin, sebagai penyeimbang ke China.

Di samping itu, China tidak mungkin memiliki sekutu militer dekat di sini, seperti yang dilakukan AS di Jepang dan Australia.

Namun, semua negara ASEAN -dengan tingkat yang berbeda-beda- sekarang menerima bahwa China akan menjadi kekuatan dominan di kawasan ini dan tidak mau membuat konsesi yang membuat kepentingannya sendiri dipertaruhkan.

Pertanyaan untuk Biden: apakah sudah terlambat bagi AS untuk membentuk kembali aliansi di ‘halaman belakang’ China?

https://www.kompas.com/global/read/2022/11/11/182900070/kekuatan-china-makin-kuat-di-asia-tenggara-bagaimana-posisi-indonesia-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke