Menurut Washington Post, Arnolfo Teves Jr, anggota Koalisi Rakyat Nasionalis, mengatakan bahwa ghosting menyebabkan trauma karena "mengembangkan perasaan penolakan dan kelalaian".
Ia percaya bahwa tindakan itu harus dianggap kasar dan juga harus dihukum.
Arnolfo mengusulkan RUU itu bulan lalu, tetapi baru berbagi ke publik awal minggu ini.
Dalam dokumen berjudul "Sebuah tindakan menyatakan ghosting sebagai pelanggaran emosional," anggota parlemen Filipina mengeklaim bahwa ghosting adalah bentuk kekejaman yang umum di dunia saat ini.
Dia menyatakan bahwa karena teknologi "dunia kencan telah berubah secara eksponensial dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya," yang berarti bahwa orang mudah untuk memutuskan hubungan satu sama lain tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain.
RUU tersebut mengatakan bahwa ghosting dapat "dianggap bentuk kekejaman emosional".
Dikatakan juga bahwa tindakan tersebut "melelahkan secara mental, fisik, dan emosional" bagi para korban.
Hal ini dapat menyebabkan "penghinaan" dan para korban kemungkinan menderita gejolak emosional karena ghosting.
"Studi telah menunjukkan bahwa penolakan sosial apapun mengaktifkan jalur rasa sakit yang sama di otak dengan nyeri fisik, artinya ada hubungan biologis antara penolakan dan rasa sakit. Itu berlaku untuk teman dan mitra, sama," tambahnya.
"Ini bisa disamakan dengan bentuk kekejaman emosional dan harus dihukum sebagai pelanggaran emosional," tambahnya.
Dalam sebuah wawancara dengan outlet, anggota parlemen kemudian menjelaskan bahwa pelecehan emosional yang disebabkan ghosting juga merugikan produktivitas bangsa.
Ia menyatakan jika pekerja tersebut tidak dalam kondisi pikiran yang baik maka pekerjaan mereka akan terpengaruh.
https://www.kompas.com/global/read/2022/07/30/170000370/ghosting-diusulkan-sebagai-pelanggaran-di-filipina-pelaku-bisa-dihukum