DOHA, KOMPAS.com - Sheikh Hamad bin Jassim bin Jaber al-Thani, mantan perdana menteri Qatar, adalah salah satu orang terkaya di negaranya, dengan perkiraan kekayaan bersih pribadi lebih dari 1,2 miliar dollar AS (hampir Rp 18 triliun) menurut Forbes.
Dia sering menarik perhatian karena kekayaannya dan saat ini menjadi berita utama atas dugaan sumbangan uang tunai dalam koper yang diberikan kepada Pangeran Charles, pewaris tahkta Kerajaan Inggris.
Di lingkaran keuangan London, pria berusia 62 tahun ini kadang-kadang dikenal sebagai dengan singkatan namanya "HBJ".
Sekarang, dia disebut-sebut sebagai "pria yang membeli London", setelah diduga menggunakan kekayaannya serta pengaruhnya sebagai kepala sovereign wealth fund (badan pengelola dana milik negara) milik Qatar, untuk memperluas aset keuangan Qatar di London melalui serangkaian aset berharga.
Dari 2000 hingga 2013, al-Thani mengawasi serangkaian investasi profil tinggi di perusahaan Inggris yang mencakup Harrods, Shard (yang dimiliki 95 persen oleh Qatar), Desa Olimpiade London, dan hotel InterContinental Park Lane.
Al-Thani sendiri sudah dikenal karena kecakapan politiknya. Sebagai kerabat dari keluarga penguasa Qatar, ia telah memegang beberapa posisi penting di pemerintahan Qatar termasuk menteri luar negeri pada 1992.
Ia diangkat sebagai wakil perdana menteri Qatar pada 2003. Pada 2007, HBJ menjadi perdana menteri, peran yang ia tinggalkan dari 2013.
Dalam sebuah wawancara dengan Financial Times pada 2016, ia digambarkan sebagai negarawan yang tidak menyesal “dikenal karena kesediaannya untuk mengungkapkan pikirannya, dan kerap berayun tanpa ragu dari satu kebijakan ke kebijakan lainnya”.
Selama bertahun-tahun, ia menjadi pusat dalam mengatur keterlibatan Qatar dalam diplomasi internasional termasuk di Yaman, Suriah, dan Israel serta wilayah Palestina.
Al-Thani mendapat julukan “pembawa perdamaian” atas usahanya untuk menengahi rekonsiliasi antara faksi-faksi yang bertikai di Afrika dan Timur Tengah, menurut sebuah laporan oleh Middle East Eye pada 2015.
Alhasil, tidak mengejutkan saat beberapa tahun yang lalu mantan emir Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani, dikabarkan mengatakan bahwa meskipun dia memimpin negara itu, perdana menterinya saat itu, HBJ, yang memiliki kekuasaannya.
Dia juga dikatakan telah mengakui bahwa di bawah kepemimpinannya, Qatar “mungkin” mendanai Front Al-Nusra, cabang Al-Qaeda Suriah, tanpa sepengetahuannya.
Pada 2012, Al-Thani terpilih sebagai salah satu dari 100 tokoh paling berpengaruh di dunia oleh majalah Time, keputusan yang didukung oleh presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Erdogan menggambarkan teman dekatnya itu sebagai “pribadi yang bijaksana, seorang contoh pemimpin dan seorang pria dengan visi yang luas”.
Dalam beberapa tahun terakhir, pengawasan telah beralih kembali menyorot keuangan al-Thani.
Pada 2016, ia dinobatkan oleh Panama Papers, salah satu kebocoran data terbesar yang pernah ada oleh firma hukum lepas pantai terbesar keempat di dunia, Mossack Fonseca.
Menurut Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional, terungkap bahwa al-Thani menggunakan perusahaan lepas pantai untuk mengelola kapal pesiar supernya yang ditambatkan di Mallorca, Al Mirqab, yang diperkirakan bernilai 300 juta dollar AS (Rp 4,5 triliun).
Investasi Qatar di Barclays selama krisis keuangan pada 2008, ketika al-Thani menjadi perdana menteri, menjadi pusat persidangan kriminal atas kesepakatan layanan kontroversial yang dibuat antara pemberi pinjaman dan negara Teluk kecil itu.
Tiga mantan eksekutif Barclays dituduh merancang perjanjian penipuan layanan konsultasi, untuk menyamarkan pembayaran senilai 322 juta dollar AS (Rp 4,7 triliun) ke Qatar.
Pada 2021, al-Thani juga disebutkan dalam Pandora Papers, yang mengungkapkan bahwa ia telah menggunakan perusahaan lepas pantai di negara surga pajak termasuk Kepulauan Virgin Inggris dan Bahama.
https://www.kompas.com/global/read/2022/06/29/105931770/sosok-pria-yang-membeli-london-miliarder-qatar-di-balik-skandal-pangeran