Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengakuan Tentara Rusia yang Menolak Bertempur di Ukraina: Banyak Rekan yang Tewas karena Ini

MOSKWA, KOMPAS.com - Beberapa tentara Rusia menolak bertempur di Ukraina lagi karena pengalaman yang mereka alami di garis depan pada awal invasi Rusia ke Ukraina, menurut pengacara dan aktivis hak asasi manusia Rusia.

"Saya tidak ingin (kembali ke Ukraina) untuk membunuh dan dibunuh," kata Sergey yang bertempur selama lima pekan di Ukraina pada awal tahun ini kepada BBC dilansir pada Jumat (3/6/2022).

Sergey, bukan nama sebenarnya, menerima bantuan hukum agar tidak dikerahkan lagi ke garis depan. Dia merupakan salah satu dari ratusan prajurit Rusia yang diketahui menerima bantuan tersebut.

Sergey mengaku trauma dengan pengalamannya di Ukraina.

Tanpa peralatan dasar

"Saya mengira kami, militer Rusia, adalah yang paling hebat di dunia," ujarnya dengan pahit.

Kenyataan di lapangan jauh berbeda. Para prajurit Rusia dikerahkan tanpa peralatan mendasar, semisal perangkat untuk melihat di kegelapan, kata Sergey.

"Kami seperti kucing buta. Saya terkaget-kaget dengan keadaan militer kami. Tidak perlu biaya besar untuk memberi perlengkapan kepada kami. Kenapa itu tidak dilakukan?" keluhnya.

Sergey bergabung dengan angkatan bersenjata Rusia melalui jalur wajib militer—sebagian besar pria Rusia berumur 18-27 tahun harus menjalani setidaknya satu tahun wajib militer.

Namun, setelah beberapa bulan, dia memutuskan menandatangani kontrak profesional selama dua tahun sehingga dia menerima gaji sebagai prajurit.

Pada Januari lalu, Sergey dikirim ke dekat perbatasan Ukraina. Perintah yang dia dapatkan adalah latihan militer.

Selang satu bulan kemudian, 24 Februari, dia diperintahkan melintasi perbatasan. Pada hari itu Rusia melancarkan invasi ke Ukraina.

Tak perlu waktu lama, unitnya mendapat serangan dari pasukan Ukraina.

Saat mereka rehat sejenak pada malam hari di sebuah lahan pertanian yang ditinggalkan pemiliknya, komandan berkata, "Sebagaimana mungkin kalian ketahui sekarang, ini (serangan) bukanlah lelucon."

Sergey mengaku dia benar-benar terkejut.

"Pikiran pertama saya saat itu 'Apa ini benar-benar terjadi? Apa ini benar-benar terjadi pada saya?!"

Banyak korban berjatuhan

Menurut Sergey, unitnya terus-menerus digempur baik saat bergerak maupun rehat sejenak pada malam hari.

Di unitnya, 10 prajurit tewas dan 10 lainnya luka-luka. Hampir semua rekannya berusia di bawah 25 tahun.

Dia mendengar sendiri betapa tidak berpengalamannya para prajurit Rusia, sampai mereka "tidak tahu cara menembak serta tidak bisa membedakan ekor dan kepala mortir".

Iring-iringan pasukan Rusia yang melintasi bagian utara Ukraina tercerai-berai hanya dalam empat hari, ketika jembatan yang akan mereka lalui meledak sehingga menewaskan sejumlah serdadu di depan Sergey.

Sergey mengungkapkan pengalaman traumatisnya ketika harus melalui rekan-rekan serdadu yang terjebak di dalam kendaraan terbakar.

"Kendaraan itu meledak entah akibat peluncur granat atau sesuatu lainnya. Saya tidak paham apa penyebabnya. Yang jelas kendaraan tersebut terbakar dan ada sejumlah serdadu (Rusia) di dalamnya. Kami bergerak menyalipnya selagi kendaraan itu terbakar. Saya tidak menengok ke belakang."

Unit Sergey bergerak ke daerah pedesaan Ukraina, namun jelas mereka tidak punya strategi konkret, ungkapnya.

Pasukan bantuan tidak datang dan para serdadu tidak dilengkapi dengan baik saat menjalani perintah merebut kota.

"Kami maju tanpa dukungan helikopter - hanya dengan satu barisan seperti datang ke sebuah parade."

Dia meyakini para komandan Rusia berencana merebut posisi-posisi kunci dan kota-kota penting Ukraina dengan sangat cepat serta menduga militer Ukraina langsung menyerah.

"Kami maju cepat, rehat sejenak, tanpa (jalur) parit-parit, tanpa pasukan pengintai. Kami tidak meninggalkan anggota lain di belakang. Jadi apabila seseorang memutuskan menyerang kami dari belakang, kami tidak punya perlindungan."

"Saya pikir (banyak) rekan kami yang tewas karena ini. Jika kami maju bertahap, jika kami memeriksa apakah ada ranjau di jalan, jatuhnya banyak korban jiwa bisa dihindari."

Bukan kasus penolakan pertama

Keluhan Sergey bahwa pasukan Rusia kurang perlengkapan juga mengemuka dalam percakapan telepon yang disebut-sebut berlangsung antara prajurit-prajurit Rusia dan keluarga mereka.

Rangkaian pembicaraan itu disadap dan diunggah ke internet oleh badan intelijen Ukraina.

Pada awal April, Sergey kembali dikirim ke kamp pasukan Rusia dekat perbatasan.

Para serdadu telah ditarik dari bagian utara Ukraina dan tampak berkumpul untuk bersiap melakukan serangan di bagian timur.

Belakangan, dia menerima perintah untuk kembali ke Ukraina. Namun kali ini dia mengatakan kepada komandannya bahwa dirinya tidak siap dikirim.

"Dia berkata itu pilihanmu. Mereka bahkan tidak (mencoba) membujuk kami, karena kami bukanlah yang pertama (menolak)," papar Sergey kepada BBC.

Namun, dia khawatir dengan reaksi unitnya, sehingga dia memutuskan mencari konsultasi hukum.

Seorang pengacara mengatakan kepada Sergey dan dua koleganya yang juga menolak dikirim ke Ukraina untuk memulangkan senjata dan kembali ke markas unit.

Mereka kemudian harus mengirim surat yang menjelaskan bahwa mereka "lelah secara moril dan psikologis", sehingga tidak bisa bertempur di Ukraina.

Sergey diberi saran bahwa kembali ke unitnya merupakan hal penting, karena langsung pergi tanpa pemberitahuan bisa digolongkan sebagai desersi. Itu bisa membuatnya dihukum penjara selama dua tahun.

Pengacara hak asasi manusia di Rusia, Alexei Tabalov, menggarisbawahi sebuah klausul dalam hukum militer yang membolehkan serdadu menolak bertempur jika mereka tidak ingin melakukannya.

Namun, para komandan berupaya mengintimidasi para prajurit kontrak agar mereka tidak kembali ke unit, menurut Tabalov.

Sergei Krivenko, pengacara HAM lainnya, mengaku belum tahu apakah ada hukuman yang dijatuhkan kepada para serdadu yang menolak bertempur.

Meski begitu, bukan berarti tidak ada upaya mendakwa para prajurit tersebut.

Seorang komandan di bagian utara Rusia meminta kasus pidana digelar di pengadilan, untuk menjerat bawahannya yang tidak mau berperang di Ukraina.

Namun, seorang jaksa militer menolak melanjutkan kasus itu, sebagaimana tertera dalam beberapa dokumen yang dilihat BBC.

Gugatan semacam itu tergolong "prematur" lantaran tanpa peninjauan mudarat yang mungkin ditimbulkan prajurit terhadap dinas militer, kata jaksa militer tersebut.

Meski rencana gugatan itu gugur, tidak ada jaminan bahwa gugatan serupa tidak akan mengemuka di masa mendatang.

Serdadu-serdadu seperti Sergey yang menolak kembali ke garis depan bukanlah hal unik, menurut Ruslan Leviev selaku editor Conflict Intelligence Team, tim media yang menyelidiki pengalaman militer Rusia di Ukraina melalui wawancara rahasia dan menelisik materi sumber terbuka.

Leviev berkata, timnya mengestimasi terdapat prajurit kontrak Rusia dalam jumlah signifikan yang dikerahkan untuk bertempur pada masa awal invasi ke Ukraina dan menolak dikirim lagi.

Media independen Rusia juga melaporkan ratusan kasus serdadu yang menolak dikirim lagi ke Ukraina sejak awal April.

Beberapa pengacara dan pegiat HAM yang diwawancarai BBC mengatakan, secara regular mereka memberikan konsultasi kepada para prajurit yang berupaya menolak kembali ke Ukraina.

Setiap orang yang BBC wawancarai telah menangani puluhan kasus. Mereka meyakini prajurit-prajurit itu juga berbagi saran kepada kolega-kolega mereka.

Adapun Sergey, yang tidak ingin kembali bertempur di garis depan, mengaku tetap ingin menuntaskan dinas militer di Rusia untuk menghindari konsekuensi yang tak diinginkan.

Itu artinya, walau surat penolakan bertempur di Ukraina diterima, tidak ada jaminan bahwa dia tidak akan dikirim lagi ke Ukraina selama dirinya masih menjadi tentara Rusia.

"Saya bisa melihat bahwa perang ini berlanjut, tidak akan berhenti. Dalam bulan-bulan yang tersisa ini (wajib militer), apa pun - termasuk yang terburuk bisa terjadi."

https://www.kompas.com/global/read/2022/06/04/231628170/pengakuan-tentara-rusia-yang-menolak-bertempur-di-ukraina-banyak-rekan

Terkini Lainnya

Israel Klaim Senjatanya Sendiri Tak Mungkin Picu Kebakaran Besar yang Tewaskan 45 Orang di Rafah

Israel Klaim Senjatanya Sendiri Tak Mungkin Picu Kebakaran Besar yang Tewaskan 45 Orang di Rafah

Global
Bagaimana Rencana 'The Day After' Bisa Bantu Mengakhiri Perang di Gaza

Bagaimana Rencana "The Day After" Bisa Bantu Mengakhiri Perang di Gaza

Internasional
Jelang Pemilu, Meksiko Akan Kerahkan 27.000 Tentara dan Garda Nasional

Jelang Pemilu, Meksiko Akan Kerahkan 27.000 Tentara dan Garda Nasional

Global
Saat Politikus AS Nikki Haley Tulis 'Habisi Mereka' di Rudal Israel...

Saat Politikus AS Nikki Haley Tulis "Habisi Mereka" di Rudal Israel...

Global
Rangkuman Hari Ke-825 Serangan Rusia ke Ukraina: Zelensky Minta Dunia Tak Bosan | Putin Wanti-wanti Barat soal Senjata

Rangkuman Hari Ke-825 Serangan Rusia ke Ukraina: Zelensky Minta Dunia Tak Bosan | Putin Wanti-wanti Barat soal Senjata

Global
Tragedi di Desa Yahidne Dinilai Jadi Gambaran Rencana Putin atas Ukraina

Tragedi di Desa Yahidne Dinilai Jadi Gambaran Rencana Putin atas Ukraina

Internasional
Kolombia Selangkah Lagi Larang Adu Banteng mulai 2027

Kolombia Selangkah Lagi Larang Adu Banteng mulai 2027

Global
Hamas Tewaskan 1.189 Orang, Israel 36.096 Orang

Hamas Tewaskan 1.189 Orang, Israel 36.096 Orang

Global
Taiwan Minta Dukungan Indonesia di Tengah Latihan Militer China

Taiwan Minta Dukungan Indonesia di Tengah Latihan Militer China

Global
Israel Mengelak Serangannya ke Rafah Sebabkan Kebakaran Mematikan

Israel Mengelak Serangannya ke Rafah Sebabkan Kebakaran Mematikan

Global
[POPULER GLOBAL] Serangan Israel Bakar Hidup-hidup Pengungsi | Biden Terkesan Membela

[POPULER GLOBAL] Serangan Israel Bakar Hidup-hidup Pengungsi | Biden Terkesan Membela

Global
Terungkap Identitas Penjual Sotong di Thailand yang Viral karena Mirip Aktor Keanu Reeves

Terungkap Identitas Penjual Sotong di Thailand yang Viral karena Mirip Aktor Keanu Reeves

Global
Di Tengah Kemarahan Global, Israel Serang Kamp Pengungsi Lagi di Rafah, 21 Orang Tewas

Di Tengah Kemarahan Global, Israel Serang Kamp Pengungsi Lagi di Rafah, 21 Orang Tewas

Global
Di Tengah Kecaman Global, Tank-tank Israel Diam-diam Telah Capai Pusat Kota Rafah

Di Tengah Kecaman Global, Tank-tank Israel Diam-diam Telah Capai Pusat Kota Rafah

Global
Bagaimana China Membantu Rusia Hadapi Dampak Sanksi Barat?

Bagaimana China Membantu Rusia Hadapi Dampak Sanksi Barat?

Internasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke