Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hambali, Otak Bom Bali 2002, Akan Diadili AS Setelah 15 Tahun Tanpa Dakwaan di Guantanamo

Pria yang bernama asli Encep Nurjaman itu akan menghadapi dakwaan resmi di depan komisi militer AS di Teluk Guantanamo.

Hambali — salah-seorang pimpinan organisasi teroris Jemaah Islamiyah — ditangkap dalam operasi gabungan CIA-Thailand di Ayutthaya, Thailand, 14 Agustus 2003, ketika dalam pelarian.

Setelah ditahan di beberapa penjara rahasia milik CIA, dia akhirnya dipindahkan ke Guantanamo pada September 2006.

Upaya Jakarta untuk membawanya pulang saat itu tidak membuahkan hasil, meskipun tim penyidik kepolisian dan Badan Intelijen Negara (BIN) belakangan diizinkan untuk memeriksanya di Guantanamo.

Pria kelahiran 1964 asal Cianjur, Jawa Barat, ini diyakini sebagai penghubung Jemaah Islamiyah (JI) dan organisasi teroris Al Qaeda di Asia Tenggara.

"Hambali berada di balik serangkaian bom 2000 hingga 2009"

Selain disebut sebagai perancang serangan bom Bali 2002, dia dianggap bertanggung jawab dalam serangan serentak beberapa gereja di tujuh kota di Indonesia pada malam Natal, akhir 2020.

Bom di Atrium Senen, Jakarta, 1 Agustus 2001, juga diduga melibatkan Hambali. Pelakunya, Dani, warga Malaysia, adalah anak buah Noerdin M Top, yang juga bawahan Hambali di JI.

Selama masa buron, dan setelah tertangkap, proyek pengeboman yang diduga kuat dirancang oleh Hambali dengan Al-Qaeda dilaksanakan tim yang terdiri orang-orang dekatnya.

"Rangkaian ledakan bom tersebut merupakan proyek Al Qaeda yang dipercayakan pelaksanaannya kepada Hambali," kata As'ad dalam buku Al-Qaeda, Tinjauan Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya (2014).

Hambali dilaporkan pula terlibat pendanaan untuk pelatihan kepada sukarelawan lokal di Poso dan Ambon saat dua wilayah itu dikoyak konflik agama.

Sekarang, mendekati 15 tahun masa penahanannya di penjara Guantanamo, yang berulangkali dikritik para pegiat HAM terkait "teknik interogasinya", Hambali menunggu sidang pertamanya untuk mendengarkan dakwaan atas dirinya.

Hanya saja persidangannya digelar oleh Mahkamah Militer AS dan bukan peradilan sipil. Hal yang dikritik sejak awal oleh pengacaranya dan pegiat HAM dunia.

Apakah Hambali masih berstatus WNI?

Kementerian Luar Negeri Indonesia, melalui juru bicaranya, Teuku Faizasyah, mengaku "belum mendapat informasi atas hal ini (rencana persidangan Hambali di AS)."

Ditanya apakah Hambali masih berstatus warga negara Indonesia (WNI), Faizasyah menulis:

"Sepengetahuan saya saat Hambali ditangkap di Thailand, yang bersangkutan memegang paspor non-Indonesia," katanya. "Jadi status kewarganegarannya merujuk ke paspor tersebut."

Pada Maret 2010 lalu, Hambali mengajukan permohonan pembebasan dari penahanan tanpa tuduhan kepada pengadilan distrik di Washington. Namun permintaannya tidak diluluskan.

Hambali "penghubung" Jemaah Islamiyah dan Al Qaeda

Hambali, awalnya, terlibat gerakan saat bertemu Abdullah Sungkar dan Abubakar Baasyir — dua tokoh Negara Islam Indonesia (NII) — di Malaysia pada 1980-an.

Dua orang ini melarikan diri ke Malaysia karena menjadi buronan pemerintahan Orde Baru, akibat terlibat gerakan pendirian Negara Islam.

Pada 1987, ketika Afghanistan dicaplok Soviet, Hambali dikirim ke sana untuk mengikuti pelatihan militer dan ikut bertempur mendukung kelompok Mujahidin.

"Hambali pernah mendapat pendidikan militer di Afghanistan. Dia angkatan ke-4 dan lulus 1989, dan sempat menjadi instruktur," kata Nasir Abas, bekas pimpinan Jemaah Islamiyah, kepada BBC News Indonesia, Sabtu (28/8/2021).

Fungsi pelatihan militer itu, ungkap Nasir yang juga pernah mengikuti pelatihan itu, dapat digunakan untuk kepentingan NII.

Dalam perkembangannya, ketika Abdullah Sungkar keluar dari NII dan mendirikan Jemaah Islamiyah pada Juni 1993, di mana Hambali ikut membahas konsep "ideologi" JI, tulis As'ad.

Saat itu kelompok Taliban yang berkuasa dan Osama bin Laden diizinkan membuka kamp pelatihan militer di sana.

Di sanalah, menurut Nasir Abbas, yang pernah menjadi pimpinan JI dan menyatakan keluar, Hambali menjadi penghubung JI dan Al Qaeda serta Taliban

"Hambali kemudian bertemu Osama bin Laden," ungkap Nasir. Pertemuan itu, antara lain, membahas bahwa JI akan mengirim anggotanya untuk berlatih militer di kamp-kamp di Afghanistan.

"Hambali memainkan peranan sebagai penghubung paling utama antara Abdullah Sungkar, Abubakar Baasyir dari JI dengan Al Qaeda dan Taliban," papar Al Chaedar kepada BBC News Indonesia.

Mengapa Hambali yang dipilih, Al Chaidar menganggap karena dia sosok yang paling dipercaya, sudah dikenal, dan memiliki kemampuan berbahasa Arab.


Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), As'ad Ali Said:

"Kami berbicara bahasa Sunda dengan Hambali di Guantanamo, dan dia akui semua perbuatannya"

Sejumlah perwira Badan Intelijen Negara (BIN) dan Mabes Polri pernah bertemu Hambali di penjara Guantanamo yang di bawah kendali militer AS.

Di hadapan Hambali, mereka mengonfirmasi hasil penyelidikan tentang dugaan dirinya, Jemaah Islamiyah, serta Al Qaeda dalam serangkaian serangan bom di awal 2000 hingga 2009.

"Hambali bicara apa-adanya, karena tim yang kami kirim pintar bahasa Arab dan juga bahasa Sunda," kata As'ad Said Ali, sambil tergelak, kepada BBC News Indonesia, Minggu (29/8/2021).

Menurutnya, timnya yang menggunakan "pendekatan budaya", melakukan konfirmasi atas hasil penyelidikan sebelumnya yang mengarah pada dugaan keterlibatannya.

Di hadapan Hambali, tim BIN dan Mabes Polri terutama mengonfirmasi beberapa aksi teror bom yang "tidak diketahui" anggota JI lainnya.

"Misalnya bom Bali, bom Atrium Senen, Kedutaan Australia, bom di depan rumah Dubes Filipina, juga rencana pengeboman di Singapura," kata As'ad.

Hambali juga tidak membantah ketika dia disodorkan bukti bahwa dia adalah "operator serangan teror Al Qaeda di wilayah Asia Tenggara.


Mengapa Hambali sebarkan "fatwa jihad Osama bin Laden"?

Sebagai penghubung antara Jemaah Islamiyah dan Al Qaeda, Hambali menerima kepercayaan untuk menyebarkan fatwa yang dikeluarkan Osama bin Laden.

Fatwa berbahasa Arab itu dibawa Hambali dan disebarkan kepada para pimpinan JI di Malaysia dan Indonesia. "Termasuk saya," kata Nasir Abas.

Menurut Nasir, Hambali memintanya untuk membacakan fatwa itu ke hadapan pimpinan lainnya. Ini ditolaknya.

"Saya tidak setuju dengan pendapat Osama bin Laden, yang mengatakan boleh membunuh warga sipil di mana saja, karena bertentangan fiqh jihad," aku Nasir Abas kepada BBC News Indonesia.

Nasir, yang mantan ketua mantiqi tiga Jemaah Islamiyah di Sabah Malaysia, Kaltim, Sulawesi Tengah dan Tenggara, tetap berkukuh menolaknya. "Saya tetap menolak."

Al Chaidar, yang pernah aktif di organisasi Negara Islam Indonesia, NII, atau Darul Islam, juga menolak cara-cara terorisme yang ditempuh Hambali dan kawan-kawan.

Dia menyebut Darul Islam "lebih pasifis dan humanis" sehingga sejak awal dia tidak tertarik "jalan" yang ditempuh Jemaah Islamiyah.

"Dan mereka tidak mau mengintervensi sekat-sekat organisasional ini antara NII dan JI. Mereka hargai perbedaan itu.

"Sejak awal kita (Darul Islam) sudah menyadari bahwa kita tidak mau dan tidak terlibat terorisme, karena gerakan pembentukan negara berbeda dengan gerakan terorisme," papar Al Chaidar kepada BBC News Indonesia, Sabtu (29/8/2021).

Jejak langkah Hambali dan JI dalam serangkaian teror bom

Namun suara Nasir Abbas dan Al Chaidar ini tenggelam dan ditinggalkan oleh Hambali dan kawan-kawannya. Kerusuhan Ambon dan Poso adalah salah-satu medan jihad pertama Jemaah Islamiyah.

Dalam konflik Ambon, Hambali bahkan pernah datang ke wilayah itu dan berujung kepada pembangunan kamp latihan militer dan bantuan logistik dan pendanaan.

Ada beberapa kasus teror yang digagas oleh Hambali, kata As'ad Ali, di antaranya adalah serangan bom di depan rumah Dubes Filipina di Jakarta.

Walaupun tidak menyetujui aksi yang ditempuh Hambali, Nasir Abas tidak memungkiri kemahiran sang operator teror tersebut.

"Lebih dari 30 gereja jadi sasaran pada malam yang sama, dan dilakukan di kota yang berbeda," kata Nasir. "Dan itu semua dikoordinir oleh Hambali."

Bagi Al Chaidar, Hambali memegang peran penting dalam serangan malam Natal itu, tidak hanya sebagai peletak dasar strategi dan perencanaan.

"Tapi juga detail-detailnya dia punya," tambah Al Chaidar. Dia menyaksikan sendiri Hambali melakukan komunikasi yang "begitu detail" meski Hambali tidak menyebutkan isi percakapan itu.

Ali Fauzi, mantan anggota Jemaah Islamiyah yang pernah terlibat dalam pelatihan militer di Mindanao, Filipina Selatan, dan kini aktif mengampanyekan perdamaian, menyuarakan hal serupa.

Ketika membesuk beberapa saudaranya di LP Nusa Kambangan, yang dipidana dalam kasus bom Bali 2002, yaitu Ali Ghufron dan Amrozi, Ali Fauzi mendengar informasi tentang sosok Hambali.

"Memang salah-satu sosok yang punya peran, dan desainernya di bom Bali itu adalah Hambali," kata Ali Fauzi kepada BBC News Indonesia, Kamis (26/8/2021).

Namun aksi teror itu diyakini merupakan bagian dari rencananya yang kemudian dilaksanakan orang-orang kepercayaannya, kata As'ad Ali.

"Setelah tertangkap (di Thailand), proyek pengeboman yang dirancang Hambali bersama AlQaeda dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri orang-orang terdekatnya," kata As'ad.

Orang-orang terdekatnya itu antara lain Dr Azhari, Noerdin M Top dan Mukhlas, tambahnya.

Mengapa Nasir Abas dan Ali Fauzi berubah, tapi Hambali "tidak"?

Di akhir wawancara, saya menanyakan kepada mantan narapidana teroris Nasir Abas dan Ali Fauzi, tentang bagaimana mereka bisa berubah dan bertaubat.

Dahulu, ketika masih bergabung dengan Jemaah Islamiyah, Ali Fauzi mengaku ditawari Hambali untuk mengikuti kamp pelatihan militer di Mindanao atau Afghanistan.

"Saya bertanya, mana wilayah yang masih berperang?" Dan ketika dia mengetahui Afghanistan sudah mereda konfliknya, Ali Fauzi memilih berlatih di Mindanao.

Ali Fauzi Manzi adalah adik kandung terpidana mati Bom Bali, Amrozi, dan terpidana seumur hidup Ali Imron.

Dua tahun kemudian Ali ditangkap dan ditahan oleh kepolisian Filipina dan dipulangkan ke Indonesia pada 2006.

Setelah bebas, Ali mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) bersama eks narapidana terorisme lainnya untuk mengampanyekan perdamaian dan deradikalisasi.

"Akar terorisme itu tidak tunggal, sehingga penyembuhannya tidak boleh tunggal," kata Ali Fauzi. Dia mengakui pendekatan lunak dari kepolisian juga membuatnya berubah.

"Dan saya ketemu ratusan korban bom dan keluarganya, dan membuat saya paham apa yang dilakukan kawan-kawan itu keblabalasan dan perlu dihentikan," ujar Ali.

"Osama mengatakan sekarang ini boleh membalas dengan membunuh wanita dan anak-anak yang warga AS, di situ saya melihat bertentangan dengan fiqh," kata Nasir.

Dia menggarisbawahi, Islam melarang membunuh warga sipil di medan pertempuran.

"Sementara Hambali tidak melihat fiqh, dia melihat sosok Osama bin Laden yang disebutnya mujahid besar yang dianggap tidak mungkin salah.

"Saya melihat sosok Osama bin Laden adalah manusia biasa yang bisa saja salah. Di situlah titik perbedaan saya dan Hambali," kata Nasir Abas.

https://www.kompas.com/global/read/2021/08/30/163001470/hambali-otak-bom-bali-2002-akan-diadili-as-setelah-15-tahun-tanpa-dakwaan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke