KOMPAS.com - Duta besar Myanmar untuk PBB yang melawan junta militer, Kyaw Moe Tun, pada Jumat (9/4/2021) mendesak untuk diberlakukannya zona larangan terbang, embargo senjata, dan sanksi.
"Tindakan kolektif dan kuat Anda dibutuhkan segera," kata Duta Besar Myanmar, Kyaw Moe Tun dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB, seperti yang dilansir dari The Straits Times.
"Waktu berharga bagi kami. Tolong ambil tindakan," Kyaw Moe Tun memohon penuh kepada Dewan Kemanan PBB.
Sejauh ini, ia menyuarakan kesedihannya atas "kurangnya tindakan yang memadai dan kuat oleh komunitas internasional, khususnya Dewan Keamanan PBB".
Utusan itu yang membangkang terhadap junta setelah kudeta pecah, mengatakan bahwa junta sengaja menargetkan warga sipil dan dia menyuarakan kesedihan atas kematian anak-anak yang ikut jadi korban.
"Zona larangan terbang harus diserukan," ujarnya, "untuk menghindari pertumpahan darah lebih jauh karena serangan udara oleh militer di permukiman warga".
"Tidak diragukan lagi tindakan itu (serangan militer) tidak dapat diterima oleh kita semua di dunia modern ini," ucapnya meyakinkan.
"Saya sangat yakin bahwa komunitas internasional, khususnya Dewan Keamanan PBB, tidak akan mmebiarkan kekejaman ini terus terjadi di Myanmar," terangnya.
Dia juga menyerukan dilakukannya embargo senjata internasional dan pembekuan rekening bank yang terkait dengan anggota militer dan keluarga mereka.
Semua investasi asing langsung juga harus ditangguhkan sampai pemulihan pemerintahan yang dipilih secara demokratis, kata duta besar.
Sementara itu, 19 orang telah dijatuhi hukuman mati di Myanmar karena membunuh rekan seorang kapten militer, kata stasiun TV Myawaddy milik militer pada Jumat (8/4/2021).
Hukuman pertama yang diumumkan di depan umum sejak kudeta Myanmar 1 Februari dan tindakan keras terhadap pengunjuk rasa.
Laporan itu mengatakan pembunuhan terjadi pada 27 Maret di distrik Okkalapa Utara, Yangon, kota terbesar Myanmar.
Darurat militer telah diberlakukan di distrik tersebut, yang mengizinkan pengadilan militer untuk menjatuhkan hukuman.
Penguasa militer yang menggulingkan pemerintah terpilih mengatakan pada Jumat (9/4/2021) bahwa kampanye protes terhadap pemerintahannya berkurang karena orang-orang menginginkan perdamaian.
Sehingga, Myanmar akan mengadakan pemilihan umum dalam dua tahun ke depan, kerangka waktu pertama yang diberikan untuk negara itu kembali ke demokrasi.
Pada Jumat (9/3/2021), pasukan militer menembakkan granat senapan dalam aksi protes anti-kudeta di kota Bago dekat Yangon, kata saksi dan laporan berita.
Setidaknya 10 orang tewas dan tubuh mereka ditumpuk di dalam pagoda, kata mereka.
Berita Myanmar Now dan Mawkun, sebuah majalah berita online, mengatakan sedikitnya 20 orang tewas dan banyak yang luka-luka.
Tidak mungkin untuk mendapatkan jumlah korban yang tepat karena pasukan telah menutup daerah dekat pagoda, kata mereka.
Juru bicara Junta Brigadir Jenderal Zaw Min Tun mengatakan dalam konferensi pers di ibu kota, Naypyitaw, bahwa negara itu kembali normal dan kementerian pemerintah serta bank akan segera beroperasi penuh.
Lebih dari 600 orang telah dibunuh oleh pasukan keamanan junta militer, yang menindak keras massa yang protes terhadap kudeta Myanmar tersebut, menurut sebuah kelompok aktivis.
Aktivitas perekonomian dan lainnya di negara ini terhenti karena protes dan pemogokan luas terhadap kekuasaan militer.
https://www.kompas.com/global/read/2021/04/10/141139270/duta-besar-myanmar-desak-larangan-terbang-embargo-senjata-hingga-sanksi