Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Inspirasi Energi: PLTN China dan Ambisi Beijing di Luar Negeri

KOMPAS.com – Baru-baru ini, China berhasil mengomersialisasikan energi listrik dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang menggunakan reaktor nuklir generasi ketiganya yang diberi nama Hualong One.

PLTN tersebut terletak di Kota Fuqing, Provinsi Fujian, China. PLTN itu dirancang berumur 60 tahun dengan peralatan intinya diproduksi dalam negeri sebagaimana dilansir dari Associated Press, Minggu (31/1/2021).

Setiap unit reaktor Hualong One memiliki kapasitas terpasang 1.170 megawatt. China National Nuclear Corp (CNNC) mengatakan, listrik yang dihasilkan dari reaktor tersebut dapat memenuhi kebutuhan listrik domestik tahunan dari 1 juta orang.

Pembangunan PLTN dengan reaktor Hualong One dimulai pada 2019. Pembangunan reaktor nuklir tersebut merupakan keseriusan China untuk mengembangkan teknologi nuklir dalam negeri.

Hualong One dibuat oleh dua perusahaan dalam negeri yakni CNNC dan China General Nuclear Power Corp.

Asosiasi Energi Nuklir China mengatakan, total kapasitas terpasang PLTN China diharapkan dapat mencapai 52 gigawatt pada akhir 2020. Pada 2035, total kapasitas terpasang PLTN di China diharapkan dapat mencapai 200 gigawatt, sebagaimana dilansir The Straits Times.

Ambisi China

Para ahli mengatakan, China sedang dalam perjalanan dalam upaya menggantikan Amerika Serikat (AS) sebagai pemimpin global dalam produksi dan penjualan listrik yang dihasilkan dari PLTN.

Strategi tersebut memberikan jalan lain bagi upaya Beijing demi menjadi kekuatan ekonomi dan diplomatik terkemuka dunia.

Sebuah studi terbaru yang diterbitkan Strategic Studies Quarterly, sebuah jurnal yang disponsori Angkatan Udara AS, menemukan bahwa sejak 2000, 96 reaktor nuklir telah terhubung ke jaringan listrik di 13 negara.

Dari jumlah tersebut, 45 di antaranya dibangun di China dan 12 di antaranya berasal Rusia sebagaimana dilansir dari Voice of America (VOA).

Artikel itu juga menunjukkan bahwa dari 54 reaktor yang sedang dibangun di negara-negara di seluruh dunia, 20-nya terkait dengan China atau Rusia dan 13 di antaranya dirancang oleh China.

Meski energi nuklir telah kehilangan popularitasnya di “Negeri Paman Sam”, pembangunan PLTN justru meningkat di tempat lain, terutama di negara-negara berkembang.

Di negara berkembang inilah PLTN dilirik untuk mencukupi kebutuhan listrik domestiknya yang tumbuh dengan tajam.

Dianggap sebagai sumber energi tanpa emisi, PLTN dinilai sangat penting bagi pembangunan ekonomi sebuah negara sekaligus masuk rencana untuk memangkas emisi karbon sebuah negara.

Badan Energi Atom Internasional (IAEA) memproyeksikan dalam laporan tahunannya pada 2020 bahwa kapasitas terpasang PLTN fi dunia akan berlipat ganda pada 2050.

Menurut data yang dirilis oleh Asosiasi Nuklir Dunia dalam Laporan Kinerja Nuklir Dunia 2020, AS memiliki jumlah reaktor operasional terbesar yaitu 95, namun hanya ada dua PLTN baru yang sedang dibangun.

Sebaliknya, China memiliki 48 unit operasional, tetapi 11 lagi sedang dibangun. Laporan lain dari Asosiasi Energi Nuklir China 2020 menyebutkan, “Negeri Panda” telah memimpin dunia dalam hal pembangunan reaktor baru pada 2018 dan 2019.

Ekspor energi listrik

China pertama kali mengusulkan strategi nasional untuk mengekspor energi nuklir secara global pada 2013.

Strategi yang disebut Going Out itu adalah bagian penting dari program Belt and Road yang mempromosikan kesepakatan pembangunan infrastruktur di luar negeri.

Strategi tersebut juga menjadi prioritas utama di bawah Made in China 2025, sebuah inisiatif untuk mendukung industri teknologi tinggi.

Sebuah laporan oleh Asosiasi Energi Nuklir China menyatakan bahwa semua perusahaan besar yang bergerak dalam tenaga nuklir di China telah berpartisipasi dalam strategi tersebut dan secara aktif menjelajahi pasar luar negeri.

Menurut laporan itu, 28 negara berencana mengembangkan tenaga nuklir di sepanjang rute Belt and Road.

CNNC telah menandatangani nota kesepakatan dengan hampir 20 negara, termasuk Argentina, Inggris, dan Pakistan.

Mantan ketua CNNC, Wang Shoujun, mengatakan negaranya dapat membangun sebanyak 30 reaktor nuklir di luar negeri selama 10 tahun berikutnya.

Tantangan geopolitik

Seorang profesor di Universitas Georgia College of Engineering di AS, David Gattie, mengatakan kepada VOA, karena semakin banyak negara yang beralih ke energi nuklir, industri ini semakin menentukan dan membentuk hubungan geopolitik dan status internasional.

Penulis artikel berjudul Twenty-First Century U.S. Nuclear Power: A National Security Imperative tersebut menambahkan bahwa proyek energi nuklir memiliki siklus hidup yang sangat panjang.

Sehingga, hal itu memungkinkan China untuk menjalin hubungan dekat dengan negara penerima yang akan berlangsung selama beberapa dekade.

"Ketika Anda mulai dengan pembangunan pembangkit listrik, pemeliharaan, penanganan limbah nuklir, dan bahkan menonaktifkannya, pembangkit listrik tersebut memiliki siklus hidup sekitar 60 atau 80 tahun,” kata Gattie.

“Jadi, ketika China memasukkan hubungan ini sebagai kemitraan dengan negara berkembang, ini adalah hubungan yang berlangsung selama puluhan tahun," sambung Gattie.

Mantan perwira intelijen AS sekaligus pihak yang ikut menulis artikel tersebut, Joshua Massey, mengamini pernyataan Gattie.

Dia bertutur, ketahanan energi merupakan elemen yang sangat penting bagi negara mana pun di dunia. Ketahanan energi juga merupakan bagian penting dalam proses pembuatan kebijakan suatu negara.

"Pihak yang memiliki kekuatan untu menghidupkan dan mematikan jaringan listrik memiliki banyak pengaruh. Dan karena China memberikan saran tentang apa yang harus dilakukan negara, hal itu memberi mereka banyak kekuatan dalam proses itu," kata Massey.

Di sisi lain, AS tidak selalu bermusuhan dengan ambisi tenaga nuklir dari China.

Terra Power LLC, perusahaan energi nuklir yang diketuai oleh salah satu pendiri Microsoft Corp, Bill Gates, mencapai kesepakatan dengan CNNC pada 2017 untuk membangun reaktor nuklir eksperimental di China.

Mantan Presiden AS Barack Obama mengajukan perjanjian kerja sama nuklir AS-China selama 30 tahun untuk peninjauan kongres pada 21 April 2015. Hal itu memungkinkan Beijing membeli reaktor dan teknologi yang dirancang AS.

Namun, kebijakan era Obama telah dibalik di bawah pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump dan perjanjian antara Terra Power dan China dibatalkan pada 2019.

Kementerian Energi AS mengumumkan pada Oktober 2018 bahwa mereka akan membatasi ekspor teknologi nuklir sipil ke China.

Dalam laporan berjudul Memulihkan Keunggulan Nuklir Kompetitif Amerika yang dirilis pada 2020, Kementerian Energi AS membuat kebijakan untuk memposisikan kembali AS sebagai mitra pilihan energi nuklir yang bertanggung jawab.

Mantan Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Keamanan dan Nonproliferasi Internasional, Christopher Ford, sempat menyinggung strategi China dalam kebijakan energi nuklirnya.

Dia sempat mengatakan bahwa Beijing menggunakan industri nuklirnya sebagai alat strategis yang dapat digunakan untuk menambah kekuatan China baik melalui pembangunan di sektor sipil dan untuk mendukung pembangunan militer.

https://www.kompas.com/global/read/2021/02/01/122322670/inspirasi-energi-pltn-china-dan-ambisi-beijing-di-luar-negeri

Terkini Lainnya

WHO: Tak Ada Pasokan Medis Masuk ke Gaza Selama 10 Hari

WHO: Tak Ada Pasokan Medis Masuk ke Gaza Selama 10 Hari

Global
PM Slovakia Jalani Operasi Baru, Kondisinya Masih Cukup Serius

PM Slovakia Jalani Operasi Baru, Kondisinya Masih Cukup Serius

Global
Warga Sipil Israel Kembali Berulah, Truk Bantuan di Tepi Barat Dibakar

Warga Sipil Israel Kembali Berulah, Truk Bantuan di Tepi Barat Dibakar

Global
13 Negara Ini Desak Israel agar Menahan Diri dari Invasinya ke Rafah

13 Negara Ini Desak Israel agar Menahan Diri dari Invasinya ke Rafah

Global
Kera Tergemuk di Thailand Mati karena Sering Diberi Permen dan Minuman Manis

Kera Tergemuk di Thailand Mati karena Sering Diberi Permen dan Minuman Manis

Global
Israel: Kasus Genosida di Pengadilan PBB Tak Sesuai Kenyataan

Israel: Kasus Genosida di Pengadilan PBB Tak Sesuai Kenyataan

Global
Minim Perlindungan, Tahanan di AS yang Jadi Buruh Rawan Kecelakaan Kerja

Minim Perlindungan, Tahanan di AS yang Jadi Buruh Rawan Kecelakaan Kerja

Internasional
Korut Tembakkan Rudal Balistik Tak Dikenal, Ini Alasannya

Korut Tembakkan Rudal Balistik Tak Dikenal, Ini Alasannya

Global
Siapa 'Si Lalat' Mohamed Amra, Napi yang Kabur dalam Penyergapan Mobil Penjara di Prancis?

Siapa "Si Lalat" Mohamed Amra, Napi yang Kabur dalam Penyergapan Mobil Penjara di Prancis?

Internasional
Tekno-Nasionalisme Xi Jinping dan Dampaknya pada Industri Global

Tekno-Nasionalisme Xi Jinping dan Dampaknya pada Industri Global

Global
2 Polisi Malaysia Tewas Ditembak dan Diserang, Pelaku Disebut Terafiliasi Jemaah Islamiyah

2 Polisi Malaysia Tewas Ditembak dan Diserang, Pelaku Disebut Terafiliasi Jemaah Islamiyah

Global
AS Sebut Dermaga Terapungnya Mulai Dipakai untuk Kirim Bantuan ke Gaza

AS Sebut Dermaga Terapungnya Mulai Dipakai untuk Kirim Bantuan ke Gaza

Global
Suara Tembakan di Dekat Kedutaan Israel, Polisi Swedia Menahan Beberapa Orang

Suara Tembakan di Dekat Kedutaan Israel, Polisi Swedia Menahan Beberapa Orang

Global
Kharkiv Jadi Kota Kedua Ukraina yang Sering Diserang Drone Rusia

Kharkiv Jadi Kota Kedua Ukraina yang Sering Diserang Drone Rusia

Global
China Disebut Berencana Kembangkan Reaktor Nuklir Terapung di Laut China Selatan

China Disebut Berencana Kembangkan Reaktor Nuklir Terapung di Laut China Selatan

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke