KUNDLI, KOMPAS.com - Puluhan ribu petani berkemah di musim dingin yang menggigit, di belakang kawat berduri dan truk yang memblokir jalan raya utama menuju ibu kota India.
Mereka melakukan aksi protes atas reformasi pertanian yang mereka khawatirkan dapat menghancurkan mata pencaharian mereka.
Lapisan jerami, kasur, dan selimut mereka siapkan untuk menjadi alas tidur di dalam traktor dan truk yang mereka bawa di jalan raya. Sementara, makanan untuk enam bulan ditumpuk di kotak trailer.
Hal itu menjadi tanda bahwa para petani India dengan tegas mempertahankan blokade sampai Perdana Menteri Narendra Modi menarik kebijakan reformasi pertanian.
Melansir AFP pada Senin (7/12/2020), slogan-slogan pro-petani terdengar dari pengeras suara di barisan petani, dengan beberapa pengunjuk rasa berdiri di atas traktor mengacungkan pedang dan tombak.
Sandeep Singh, seorang petani dari distrik Ludhiana di negara bagian Punjab utara, sebuah wilayah agraris utama, berkata kepada AFP, "Undang-undang ini (reformasi pertanian) adalah hukuman mati bagi para petani."
"Ini (blokade) adalah Tembok Berlin, tetapi bahkan jika kami harus memprotes selama satu atau dua tahun atau harus menghadapi peluru, kami tidak akan meninggalkan tempat ini sampai undang-undang dicabut."
Inti dari perselisihan tersebut adalah undang-undang baru yang menurut pemerintah akan merombak sektor yang gagal dengan deregulasi pertanian dan menghilangkan perantara negara.
Namun, para petani India percaya bahwa perubahan tersebut hanya akan menguntungkan perusahaan besar.
Baik pemerintah dan kelompok petani menolak untuk mengubah pendapatnya, meskipun beberapa pembicaraan telah dilakukan.
"Kami sama sekali tidak mempercayai pemerintah. Setiap undang-undang yang mereka bawa sebelumnya telah berubah menjadi bencana...Mereka ingin melemahkan petani dan menyerahkan tanah serta kehidupan kami kepada perusahaan besar," kata Singh.
Blokade dimulai ketika para petani berbaris dari Punjab menuju New Delhi pada 26 November, yang memicu bentrokan dengan polisi.
Kita mati atau kita menang
Singh (65 tahun) salah satu demonstran pertama, telah bergabung dengan puluhan ribu rekannya yang sebagian besar adalah petani Sikh.
Dia dan belasan orang lainnya mengendarai 6 traktor membawa jatah ke perbatasan antara Delhi dan negara bagian Haryana, yang terletak di antara ibu kota dan Punjab.
Singh mengawasi salah satu dari sejumlah dapur darurat tempat makanan dimasak.
Para petani India mengenakan turban berwarna cerah, duduk bersila dalam barisan panjang di sepanjang jalan raya saat seorang sukarelawan menyajikan makanan yang disiapkan dalam mangkok besar.
Untuk mandi, ada yang menggunakan ember berisi air dan selang yang dihubungkan ke truk tangki.
Pada malam hari, Singh mundur ke traktornya di mana dia memberi tahu keluarganya di rumah melalui WhatsApp tentang berita terbaru dari kampanye yang didukung oleh seluruh desanya.
"Anak saya mendorong saya untuk bergabung dalam protes. Ini adalah situasi lakukan atau mati bagi kami. Saya di sini untuk generasi masa depan saya," kata Singh, yang memiliki lima hektar lahan pertanian.
Kamp-kamp yang mendistribusikan obat-obatan dan masker juga bermunculan di perbatasan Delhi-India utara hampir 2 kilometer (1,2 mil).
Shuvaik Singh telah berkemah di lokasi itu sejak hari pertama ketika polisi menembakkan gas air mata dan meriam air ke arah pengunjuk rasa.
Pria 75 tahun itu, yang memiliki 7 hektar tanah setengah kering di distrik Patiala Punjab, terkena air dingin dari meriam. Namun, dia tidak tergoyahkan.
"Kami telah melihat kekeringan dan kelaparan, tapi itu tidak pernah membuat kami khawatir. Peluru dan meriam air juga tidak akan menghentikan kami," kata Singh kepada AFP saat dia mencengkeram tongkat jalan yang dimodifikasi dengan kapak berbentuk bulan sabit.
"Undang-undang ini akan membuat kita menjadi budak, yang tidak dapat diterima. Jika diperlukan, aku akan menggunakan senjataku, tetapi tidak akan kembali tanpa undang-undang dibatalkan. Bagaimana aku akan menghadapi keluargaku?" ujarnya
"Kita mati atau menang," pungkasnya.
https://www.kompas.com/global/read/2020/12/07/172830170/petani-india-bertekad-tolak-uu-reformasi-pertanian-menang-atau-mati