Oleh: Bonar Hutapea, S.Psi., M.Psi.*
“I think preparing food and feeding people brings nourishment not only to our bodies but to our spirits….” - Shauna Niequist
LIBUR, apalagi libur panjang Lebaran seperti saat ini, selain waktu bersantai bersama keluarga atau teman-teman, adalah saat yang tepat untuk memasak, baik sendiri maupun bersama-sama, bahkan untuk belajar memasak.
Mengapa begitu? Bila bukan pada saat semacam ini, biasanya amat sulit, khususnya bagi orang yang memiliki aktivitas dan jadwal yang padat.
Masa kini orang-orang semakin jarang memasak karena gaya hidup. Ada baiknya memasak dipertimbangkan sebagai salah satu kegiatan yang penting karena besar manfaatnya, antara lain ekonomis atau bisa berhemat.
Selain itu, bisa memilih bahan-bahan segar agar lebih lezat, terhindar dari risiko semisal bahan yang berpotensi menyebabkan alergi, kanker dan lainnya.
Dengan memasak, kita juga dapat menjaga asupan kalori bila sedang diet, bebas menambahkan aroma dan bahan lain yang diinginkan, dan sebagainya.
Lebih daripada itu, memasak memberi banyak manfaat psikologis-sosial, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Berikut penjelasan yang mengacu pada sejumlah penelitian, di antaranya studi kepustakaan seperti dilakukan Nicole Farmer, Katherine Touchton-Leonard, dan Alyson Ross yang dipublikaskan pada jurnal Health Education and Behavior tahun 2018, penelitian Jonathan E. Mosko dan Madilynn J. Delach yang dipublikasikan pada jurnal Journal of Creative Behavior tahun 2021, pendapat para ahli, di antaranya model PERMA dari Seligman seperti ulasan Nicole Farmer dan Elizabeth W. Cotter dalam ranah memasak dalam artikel mereka di Frontiersin Psychology tahun 2021 serta dari berbagai sumber:
Pertama, kebahagiaan, kesehatan mental, dan kualitas hidup. Setelah aktivitas padat atau kesibukan bekerja, memasak salah satu cara untuk melepas kepenatan.
Mungkin saja irama yang muncul dari memotong, mengiris, mengaduk, merebus, memanggang, mengulek bumbu, membuat adonan, dan lainnya akan menenangkan pikiran dan memberi kedamaian bagi jiwa dengan membayangkan lezatnya makanan yang akan disajikan.
Memasak adalah sesuatu yang sangat berbeda dari hal lain yang biasa dilakukan sehari-hari. Dalam memasak ada kekuatan terapeutik. Saat memasak, laju hidup terkesan melambat sehingga bisa mereduksi stres atau mengalihkan perhatian dari ketegangan, selain juga meningkatkan kestabilan emosi dan suasana hati.
Secara khusus, dalam masa pandemi Covid-19 lalu, penelitian kualitatif sederhana Ozan Güler dan Murat Ismet Hasek yang diterbitkan pada 2021 di Frontiers in Psychology menemukan bahwa orang-orang yang memasak untuk mengisi waktu, alih-alih terus menerus membuka ponsel dan menonton televisi lalu terpapar berita mencemaskan selama lockdown, mereka menemukan kebahagiaan, relaksasi, dan mendapatkan kepercayaan diri di dapur.
Hal ini membuat mereka merasa lebih mandiri, memulihkan emosi yang terganggu dan dampak buruk secara psikis.
Memasak juga memfokuskan pikiran dengan mengikuti resep, dan jangan sampai pikiran terpecah sejak dari menyiapkan bahan-bahan dengan tepat.
Karenanya, mempraktikkan dan melatih perhatian penuh (mindfulness) sangat cocok dilakukan di dapur sebab semua rangkaian atau tahapan memasak membutuhkan perhatian sepenuhnya, mulai dari pengamatan, sentuhan, pembauan, dan sensasi dari momen ke momen secara penuh.
Selain itu, memasak juga menghalau pikiran dari hal-hal buruk, masa lalu, dan kekhawatiran masa depan. Pikiran sepenuhnya ’di sini’ dan ’sekarang’ saat memasak.
Memasak juga membangkitkan semangat hidup dengan menjadikan dapur sebagai tempat pelipur lara karena memasak memberikan kegembiraan. Pada gilirannya, hal-hal positif yang didapatkan dari memasak dapat meningkatkan kualitas hidup.
Kedua, inovasi dan kreativitas. Menurut Lizeth Aranda, dalam tulisannya pada Harvard Business School Publishing tahun 2019, memasak itu:
Keempat, harga diri dan keyakinan diri. Bila secara psikologis sedang tertekan atau sedang menghadapi masalah yang mengganggu pikiran, perasaan terhadap diri sendiri seringkali ikut terganggu.