Tragisnya, hasil penelitian tersebut disetorkan kepada jurnal asing secara sukarela, bahkan harus membayar sampai puluhan juta rupiah, serta rela mengantre sampai berbulan-bulan, bahkan tahun, supaya bisa dipublikasikan.
Biaya, ide, gagasan, formulasi, dan lain-lain hasil jerih payah yang tertuang dalam paper diserahkan kepada orang lain dengan imbalan berupa gula-gula yang namanya publikasi internasional.
Pengelola jurnal menghadiahi para kontrbutor dengan kebanggaan bahwa karyanya sudah mendunia dengan terindeks global.
Peluang dalam publikasi ilmiah tersebut akhirnya banyak dimanfaatkan oleh para petualang nakal nan cerdik terutama dari India, Pakistan, dan negara-negara Afrika dengan memakai alamat palsu di negara-negara maju untuk mengelabui konsumen.
Mereka sangat paham dengan mentalitas feodalisme bangsa Indonesia yang gila hormat, gila identitas, dan pengidap penyakit kejiwaan berupa inlander complex—merasa silau bila melihat yang serba Barat.
Maka dibuatlah jurnal internasional abal-abal, yang disebut juga jurnal predator untuk menampung karya-karya ilmiah tersebut.
Tentu saja semuanya berbayar, untuk bisa dimuat harus membayar, dan kalau ketahuan kekonyolannya, misalnya, hasil mencuri atau plagiasi, maka untuk mencabutnya juga harus membayar.
Apabila kita analogikan karya tulis ilmiah ini dengan barang berharga, berlian misalnya, apa yang akan kita lakukan bila mempunyai sebutir berlian?
Tentu saja kita tidak akan menyimpannya dengan sembarangan, tapi di tempat khusus dan tidak semua orang boleh melihatnya karena takut ada yang mencuri.
Berbeda dengan rongsokan, disimpan di pinggir jalan pun tidak khawatir, bahkan susah mendapatkan tempat.
Begitupun tulisan, informasi berharga tidak mungkin diobral murah di media termasuk jurnal. Informasi berharga itu pasti dipakai untuk sendiri atau dijual kepada konsumen spesifik.
Pernahkah Steve Jobs, Bill Gates, Elon Musk, para drop-outer inovator dunia itu, menulis di jurnal?
Sudah puluhan tahun Indonesia bekerja sama dengan univesitas-universitas di negara maju dan sudah ribuan doktor dialumnikan dan kembali ke Tanah Air.
Namun, mengapa kita tidak bisa setara dengan mereka? Semua bidang kita ada di bawah subordinasi dari negara-negara maju, termasuk bidang publikasi sebagai representasi dari industri pemikiran.
Dunia ini pasar bebas bagi industri pemikiran, ide, dan gagasan. Siapa kuat dia yang kuasa, dan pada level ini tidak ada norma dan etika.