Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Suherman
Analis Data Ilmiah BRIN

Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat ASEAN, Peraih medali emas CONSAL Award

Tragedi Publikasi

Kompas.com - 15/04/2024, 10:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DUNIA akademisi di Tanah Air kembali ditimpa aib karena dugaan seorang guru besar, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional (UNAS), mencatut nama dosen Universitas Malaysia Terengganu (UMT) dalam publikasi ilmiah.

Sebenarnya ini merupakan persoalan lama yang muncul kembali. Dahulu malah ada kejadian yang menggelikan, yaitu dengan dimuatnya paper hasil copy-paste atas nama Inul Daratista, artis dangdut, sebagai penulisnya di salah satu jurnal predator.

Terlepas dari polemik yang sedang berlangsung, masalah publikasi sebenarnya tidak hanya menyangkut akademik, tetapi juga masalah kualitas akademisi dan harga diri bangsa.

Kita pernah bergembira dan bangga karena jumlah publikasi di jurnal internasional meningkat secara eksponensial, bahkan bisa mengalahkan negara-negara tetangga.

Namun, sayangnya itu hanyalah kebanggaan semu, karena tidak mengubah status negara kita menjadi negara maju dalam bidang teknologi. Publikasi bertambah secara kuantitas tanpa kualitas, seperti buih di lautan.

Pinker pernah menyindir fenomena ini dengan mengatakan “Indikator karya akademis itu sama persis dengan tulisan para birokrat: Seandainya semuanya dihapus tidak akan ada makna apalagi substansi yang hilang.”

Mayoritas akademisi dan peneliti menulis karena dorongan pengumpulan angka kredit, bukan untuk bertarung ide di jurnal terindeks skopus yang hari ini dijadikan indikator prestasi intelektual kelas global.

Tulisan termuat di jurnal internasional memiliki angka kredit yang besar, dan ini merupakan syarat utama untuk naik jabatan, kenaikan tunjangan, dan untuk naik kasta akademis dengan gelar yang mentereng seperti profesor.

Karena itulah, demi identitas tersebut, maka berbagai macam usaha, baik yang halal maupun haram dilakukan.

Hal ini sama persis dengan kasus pemalsuan gelar habib yang juga sedang ramai di masyarakat. Yang satu identitas akademis, yang satu satu lagi identitas keagamaan. Namun tujuannya sama, yaitu demi uang, jabatan atau kekuasaan.

"Publish or perish" pepatah yang dahulu menggambarkan anjuran agar menulis supaya nama kita abadi dalam sejarah, sekarang menjadi keharusan, bahkan tekanan untuk menerbitkan karya ilmiah agar mulus dalam karier akademis.

Akibatnya demi terbitan, segala macam cara digunakan, termasuk plagiasi dan mencatut nama orang lain. Mereka lupa dengan etika dan etiket yang mengatakan bahwa peneliti boleh salah, tetapi tidak boleh bohong.

Karya tulis ilmiah merupakan laporan hasil penelitian yang telah menghabiskan dana ratusan juta rupiah, bahkan kalau dilakukan oleh kelompok penelitian bisa mencapai miliaran rupiah.

Sebagian besar tujuan utama penelitian adalah menghasilkan paper atau paten untuk angka kredit. Sedangkan temuan, invensi atau inovasi, sebagai produk utamanya, biasanya tidak menjadi prioritas, mau gagal atau tidak itu tidak menjadi masalah yang penting paper.

Angka kredit sudah menjadi ideologi para pejabat fungsional yang harus diperjuangkan sampai tetes darah penghabisan.

Tragisnya, hasil penelitian tersebut disetorkan kepada jurnal asing secara sukarela, bahkan harus membayar sampai puluhan juta rupiah, serta rela mengantre sampai berbulan-bulan, bahkan tahun, supaya bisa dipublikasikan.

Biaya, ide, gagasan, formulasi, dan lain-lain hasil jerih payah yang tertuang dalam paper diserahkan kepada orang lain dengan imbalan berupa gula-gula yang namanya publikasi internasional.

Pengelola jurnal menghadiahi para kontrbutor dengan kebanggaan bahwa karyanya sudah mendunia dengan terindeks global.

Peluang dalam publikasi ilmiah tersebut akhirnya banyak dimanfaatkan oleh para petualang nakal nan cerdik terutama dari India, Pakistan, dan negara-negara Afrika dengan memakai alamat palsu di negara-negara maju untuk mengelabui konsumen.

Mereka sangat paham dengan mentalitas feodalisme bangsa Indonesia yang gila hormat, gila identitas, dan pengidap penyakit kejiwaan berupa inlander complex—merasa silau bila melihat yang serba Barat.

Maka dibuatlah jurnal internasional abal-abal, yang disebut juga jurnal predator untuk menampung karya-karya ilmiah tersebut.

Tentu saja semuanya berbayar, untuk bisa dimuat harus membayar, dan kalau ketahuan kekonyolannya, misalnya, hasil mencuri atau plagiasi, maka untuk mencabutnya juga harus membayar.

Apabila kita analogikan karya tulis ilmiah ini dengan barang berharga, berlian misalnya, apa yang akan kita lakukan bila mempunyai sebutir berlian?

Tentu saja kita tidak akan menyimpannya dengan sembarangan, tapi di tempat khusus dan tidak semua orang boleh melihatnya karena takut ada yang mencuri.

Berbeda dengan rongsokan, disimpan di pinggir jalan pun tidak khawatir, bahkan susah mendapatkan tempat.

Begitupun tulisan, informasi berharga tidak mungkin diobral murah di media termasuk jurnal. Informasi berharga itu pasti dipakai untuk sendiri atau dijual kepada konsumen spesifik.

Pernahkah Steve Jobs, Bill Gates, Elon Musk, para drop-outer inovator dunia itu, menulis di jurnal?

Sudah puluhan tahun Indonesia bekerja sama dengan univesitas-universitas di negara maju dan sudah ribuan doktor dialumnikan dan kembali ke Tanah Air. 

Namun, mengapa kita tidak bisa setara dengan mereka? Semua bidang kita ada di bawah subordinasi dari negara-negara maju, termasuk bidang publikasi sebagai representasi dari industri pemikiran.

Dunia ini pasar bebas bagi industri pemikiran, ide, dan gagasan. Siapa kuat dia yang kuasa, dan pada level ini tidak ada norma dan etika.

Begitulah jadinya, mengirimkan tulisan ke jurnal internasional yang tadinya mau pamer kepintaran malah pamer keluguan di dunia global, yang akhirnya menjadi ladang eksploitasi negara maju terhadap para akademisi dan peneliti negara berkembang dan terbelakang.

Hari ini kita memiliki 31.000 doktor dan 5.478 profesor, juga memiliki organisasi gigantik dengan nama Perhimpunan Periset Indonesia dengan jumlah anggota 8.909 orang.

Dengan sumber daya seperti itu, sepertinya sangat keterlaluan apabila tidak bisa membuat satu atau dua jurnal bereputasi internasional.

Secara proses juga tidak terlalu sulit, tinggal melakukan internasionalisasi penulis dan editorial board, review yang ketat, indeksasi, etika publikasi yang ketat, dan kemudian diterbitkan oleh penerbit yang memiliki perestise dan reputasi—mungkin Penerbit BRIN bisa mewakili.

Apabila kita berhasil membuat jurnal sendiri, maka ketergantungan dan tragedi publikasi yang merugikan seperti di atas bisa dihilangkan.

Sepertinya pemerintah sudah merasakan ekses dari mengutamakan angka kredit yang diperoleh dari publikasi ini, maka terbitlah Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 1 Tahun 2023 Tentang Jabatan Fungsional.

Salah satu klausulnya adalah penilaian jabatan fungsional dikembalikan kepada Sistem Kinerja Pegawai (SKP).

Dengan Peraturan tersebut, angka kredit tidak lagi ditetapkan sebagai target angka kredit tahunan. Ini akan berimbas kepada publikasi yang selalu dijadikan prioritas karena memiliki angka kredit yang besar.

Pelatihan, workshop, dan joki karya tulis ilmiah akan mengalami kebangkrutan. Para penulis akan terseleksi secara alamiah, hanya mereka yang profesional saja yang akan tetap menulis di jurnal.

Peraturan Menpan ini juga, walau akan melahirkan birokrasi yang semakin feodal, dapat mengurangi pemborosan pembiayaan karya ilmiah yang asal-asalan.

Para penulis amatir akan terbebaskan dari penderitaan kewajiban menulis yang selama ini menyita pikiran dan waktu.

Selamat tinggal tim penilai, selamat tinggal regulasi (petunjak pelaksanaan dan petunjuk teknis) jabatan fungsional, dan selamat datang para periset dan akademisi profesional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com