Adapun untuk sisi akademis, kita bisa menemuinya pada kampus-kampus di luar negeri yang membuka kajian Indonesian Studies atau Southeast Asian Studies.
Paling tidak ada 14 kampus di Australia yang membuka jurusan ataupun kelas Bahasa Indonesia, 19 kampus yang memiliki kelas/jurusan/pusat kajian Indonesia di Amerika Serikat.
Selain itu, beberapa kampus di Jerman seperti Universitas Frankfurt Am Main dan Universitas Bonn serta tentu saja Belanda sebagai negara yang menjajah Indonesia cukup lama masih mempertahankan “Indologen” di kampus-kampusnya.
Khusus untuk kampus-kampus yang memiliki jurusan “Indonesian Studies”, pemerintah semestinya melakukan kerjasama intens agar program-program tersebut bisa terus eksis.
Seringkali karena dianggap tidak menguntungkan dan sepi peminat, jurusan “Indologi” kemudian satu per satu ditutup di luar negeri seperti yang belakangan terjadi di Australia. Hal itu merugikan dari sisi penetrasi Bahasa Indonesia di berbagai negara.
Pemerintah lewat program LPDP bisa mengembangkan sayap dengan pemberian hibah penelitian dan beasiswa bagi mahasiswa asing yang mengambil kuliah “Indonesian Studies” di kampus-kampus luar negeri.
Tentu timbul pertanyaan, kenapa memberikan beasiswa kepada orang asing yang notabene sudah “makmur” dan mapan dari segi ekonomi?
Kalau kita perhatikan, peminat kajian keindonesiaan dan bahasa Indonesia hanyalah segelintir orang saja di mana di negara merekapun jurusan itu tidak menjadi pilihan favorit.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki alasan khusus dan bisa dikatakan kelompok “langka” dalam komunitas ilmiah internasional.
Ketika pemerintah Indonesia memberikan beasiswa dan hibah khusus kepada mereka, maka kita bisa mengarahkan mereka untuk melakukan riset dan kajian bukan untuk kepentingan penguatan neokolonialisme negara tertentu, tapi lebih mengarah penguatan kepentingan Indonesia.
Kesadaran politik anggaran untuk “soft diplomacy” lewat pembukaan pusat-pusat studi, bahasa dan budaya di berbagai kampus-kampus besar di dunia juga harus segera disadari oleh pemerintah.
Sejak perang dingin usai, kepentingan negara-negara adidaya untuk membuka Indonesian Studies dengan kucuran dana yang besar tak lagi kuat.
Sehingga jika Indonesia tetap ingin terus menarik perhatian negara-negara di dunia secara akademis, maka investasi pendirian “center-center” kajian Indonesia di luar negeri menjadi keniscayaan.
Itulah yang dilakukan oleh negara-negara Arab untuk “Centre of Islamic and Middle Eastern Studies" di kampus-kampus bonafid di Eropa dan Amerika. Langkah serupa juga dilakukan oleh China.
Belakangan Malaysia juga ingin menghidupkan “Centre of Malay Studies” di Leiden University Belanda.