Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anggun Gunawan
Dosen

Anggun Gunawan merupakan dosen tetap di Program Studi Penerbitan, Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta dan dosen part-time di Sekolah Vokasi Universitas Indonesia Depok. Ia menyelesaikan S2 bidang Publishing Media dari Oxford Brookes University UK tahun 2020 dan S1 bidang Ilmu Filsafat dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pada tahun 2014, ia berkesempatan mendapatkan beasiswa untuk belajar "Translation Copyright Transanction" di Jakarta dan Frankfurt Jerman dari Goethe Institut Indonesia.

Perjuangan Internasionalisasi Bahasa Indonesia

Kompas.com - 27/10/2023, 08:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

EMPAT hari (25-28 Oktober 2023), ratusan penggiat, pelaku, peneliti dan akademisi bahasa Indonesia berkumpul di The Sultan Hotel Jakarta untuk melakukan Kongres Bahasa Indonesia XII.

Ada tiga topik pilihan yang diangkat dalam kongres yang telah dimulai sejak 1938 ini, yaitu: Revitalisasi Bahasa dan Sastra Daerah, Literasi Bahasa dan Sastra Indonesia, serta Internasionalisasi Bahasa Indonesia yang diikat oleh tema utama “Literasi dalam Kebinekaan untuk Kemajuan Bangsa”.

Kongres kali ini begitu bergairah karena pada Mei 2023, pemerintah Indonesia mengusulkan kepada UNESCO untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa resmi dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Bahasa Indonesia (BIPA) diklaim telah diajarkan di 52 negara dan melayani 162.000 orang asing yang tertarik belajar bahasa Indonesia dengan berbagai motif sejak 2015.

Secara historis, bahasa Indonesia telah menjadi mata kuliah wajib yang mesti diambil oleh mahasiswa jurusan “Indologen” atau “Indologi” (Indonesian Studies) di kampus tertua di Belanda, Universiteit Leiden.

Sejak 1918, Universitas Leiden mengangkat seorang guru bantu atau asisten profesor (hulpleraar) yang mengajar Bahasa Melayu.

Meskipun sudah memiliki beberapa dosen berkebangsaan Belanda yang memiliki kemampuan berbahasa Melayu, tetapi Universitas Leiden merasa masih perlu merekrut penutur asli (native speaker) Bahasa Melayu sebagai pengajar mahasiswa-mahasiswa Belanda yang mengambil jurusan Indologi.

Kebanyakan para mahasiswa memang berkeinginan bekerja di Hindia Belanda (Nusantara), baik di sektor swasta atau sebagai pegawai kolonial sehingga mereka membutuhkan kemampuan bahasa Melayu (Indonesia) yang baik dan benar dalam menjalankan pekerjaan nantinya.

Tradisi itu dimulai dengan sosok bernama Baginda Dahlan Abdullah (yang nantinya banyak berperan dalam persiapan kemerdekaan Indonesia dan sempat menjabat Duta Besar Indonesia untuk Irak, Trans Jordania dan Syiria pada 1950) dengan masa bakti 1918-1922, kemudian diteruskan oleh Sutan Muhammad Zain (petinggi di Balai Pustaka).

Tradisi memakai penutur asli untuk mengajarkan bahasa Indonesia masih dipertahankan oleh Universitas Leiden hingga saat ini.

Sosok yang masih aktif mengampu mata kuliah ini adalah Dr. Suryadi, M.A. (Lulusan S1 Sastra Minangkabau Universitas Andalas Padang) yang telah mencatatkan pengabdian panjangnya di negeri kincir angin itu, yakni selama 25 tahun, dimulai sejak 1998.

Keinginan orang asing untuk mempelajari bahasa tentu tidak terlepas dari kebutuhan pragmatis seperti menunjang pekerjaan dan karier, mempermudah perjalanan wisata ke negara atau bisa karena motivasi keilmuan.

Untuk alasan pertama kita masih melihat bagaimana bersemangatnya orang-orang di Jepang dan Korea mempelajari bahasa Indonesia karena banyak perusahaan otomotif dan elektronik Jepang serta Korea yang memiliki kantor di Indonesia.

Biasanya mereka akan menempatkan karyawan setingkat manajer dari warga negara mereka sendiri.

Sementara untuk motivasi berwisata, kita menemukan semangat mempelajari bahasa Indonesia dari wisatawan-wisatawan asing terutama dari Australia yang memang memiliki keinginan untuk tinggal agak lama di Indonesia, terutama di Bali.

Adapun untuk sisi akademis, kita bisa menemuinya pada kampus-kampus di luar negeri yang membuka kajian Indonesian Studies atau Southeast Asian Studies.

Paling tidak ada 14 kampus di Australia yang membuka jurusan ataupun kelas Bahasa Indonesia, 19 kampus yang memiliki kelas/jurusan/pusat kajian Indonesia di Amerika Serikat.

Selain itu, beberapa kampus di Jerman seperti Universitas Frankfurt Am Main dan Universitas Bonn serta tentu saja Belanda sebagai negara yang menjajah Indonesia cukup lama masih mempertahankan “Indologen” di kampus-kampusnya.

Khusus untuk kampus-kampus yang memiliki jurusan “Indonesian Studies”, pemerintah semestinya melakukan kerjasama intens agar program-program tersebut bisa terus eksis.

Seringkali karena dianggap tidak menguntungkan dan sepi peminat, jurusan “Indologi” kemudian satu per satu ditutup di luar negeri seperti yang belakangan terjadi di Australia. Hal itu merugikan dari sisi penetrasi Bahasa Indonesia di berbagai negara.

Pemerintah lewat program LPDP bisa mengembangkan sayap dengan pemberian hibah penelitian dan beasiswa bagi mahasiswa asing yang mengambil kuliah “Indonesian Studies” di kampus-kampus luar negeri.

Tentu timbul pertanyaan, kenapa memberikan beasiswa kepada orang asing yang notabene sudah “makmur” dan mapan dari segi ekonomi?

Kalau kita perhatikan, peminat kajian keindonesiaan dan bahasa Indonesia hanyalah segelintir orang saja di mana di negara merekapun jurusan itu tidak menjadi pilihan favorit.

Mereka adalah orang-orang yang memiliki alasan khusus dan bisa dikatakan kelompok “langka” dalam komunitas ilmiah internasional.

Ketika pemerintah Indonesia memberikan beasiswa dan hibah khusus kepada mereka, maka kita bisa mengarahkan mereka untuk melakukan riset dan kajian bukan untuk kepentingan penguatan neokolonialisme negara tertentu, tapi lebih mengarah penguatan kepentingan Indonesia.

Kesadaran politik anggaran untuk “soft diplomacy” lewat pembukaan pusat-pusat studi, bahasa dan budaya di berbagai kampus-kampus besar di dunia juga harus segera disadari oleh pemerintah.

Sejak perang dingin usai, kepentingan negara-negara adidaya untuk membuka Indonesian Studies dengan kucuran dana yang besar tak lagi kuat.

Sehingga jika Indonesia tetap ingin terus menarik perhatian negara-negara di dunia secara akademis, maka investasi pendirian “center-center” kajian Indonesia di luar negeri menjadi keniscayaan.

Itulah yang dilakukan oleh negara-negara Arab untuk “Centre of Islamic and Middle Eastern Studies" di kampus-kampus bonafid di Eropa dan Amerika. Langkah serupa juga dilakukan oleh China.

Belakangan Malaysia juga ingin menghidupkan “Centre of Malay Studies” di Leiden University Belanda.

Di sisi lain, masih ada beberapa kelemahan dalam pendukungan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Industri kreatif seperti musik, sastra dan film Indonesia masih sulit untuk bersaing di kancah global.

Berbeda dengan Korea Selatan yang bisa melakukan penetrasi budaya lewat K-Pop dan Drakor ke seluruh dunia dengan dukungan penuh pemerintahnya.

Demam Korea telah meningkatkan minat anak-anak muda di seluruh dunia untuk mempelajari bahasa Korea. Produksi musik, sastra dan film berkualitas mesti mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah Republik Indonesia.

Kedua, soal masih lemahnya regulasi dalam kewajiban kemampuan literasi bahasa Indonesia bagi tenaga asing yang bekerja di Tanah Air, terutama sekali tenaga kerja dari China.

Kebutuhan investasi untuk membangun berbagai proyek infrastruktur dan pengolahan sumber daya alam yang begitu tinggi membuat Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menghapus regulasi keharusan menguasai bahasa Indonesia untuk pekerja expatriat tersebut.

Internasionalisasi bahasa Indonesia harus seiring sejalan dengan penguatan “dignity” kita sebagai bangsa.

Percuma saja jika kita sudah berlelah-lelah mempromosikan bahasa Indonesia di berbagai mancanegara, tetapi ketika orang asing bekerja dan mencari nafkah di Indonesia, mereka tidak diwajibkan bisa berbahasa Indonesia.

Potensi-potensi konflik sosial dengan penduduk lokal akan semakin membesar jika situasi ini terus dibiarkan oleh pemerintah karena tidak ada proses pembauran dan proses saling mengenal di antara para pekerja asing tersebut dengan masyarakat setempat.

Akhirnya, selamat atas pelaksanaan Kongres Bahasa Indonesia XII. Semoga semakin menyadarkan banyak pihak bahwa diplomasi bahasa dan literasi perlu mendapatkan perhatian lebih berbagai para pengambil kebijakan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com