KOMPAS.com - Teknologi rekognisi wajah (face recognition) mulai diberlakukan sebagai salah satu syarat masuk ke stasiun atau bandara internasional di Indonesia.
Meski memudahkan pengguna transportasi agar tidak lagi mengeluarkan dokumen identitas fisik, ada kehati-hatian di dalam penggunaannya, khususnya menyangkut data pribadi.
Baca juga: Sosok Stanley, Lulus dari Jurusan Kedokteran UB dengan IPK 3,99
Menurut Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Siber Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Sinta Dewi, masyarakat berhak menolak untuk tidak menggunakan fasilitas face recognition saat akan masuk stasiun atau bandara.
Karena itu, pihak stasiun atau bandara tetap perlu menyediakan gerbang (gate) tanpa fasilitas tersebut.
Alasan tersebut karena fasilitas face recognition bersinggungan dengan upaya pelindungan data pribadi.
Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi dijelaskan bahwa data pribadi terbagi menjadi dua jenis, yaitu data pribadi umum dan spesifik.
Data pribadi spesifik di antaranya informasi kesehatan, data biometrik, data genetika. Data spesifik harus dilakukan pelindungan lebih ketat.
Karena face recognition memindai data-data biometrik penggunanya, Prof. Sinta mengingatkan bahwa pengelolaan datanya harus ketat dan hati-hati.
Sebabnya, beragamnya modus tindakan kejahatan siber saat ini sangat mudah membocorkan data pribadi tersebut jika tanpa pelindungan yang ketat.
"Memang UU Pelindungan Data Pribadi ini menjadi pekerjaan rumah (bagi PT KAI atau pihak bandara). Di dalam mengelola face recognition harus lebih hati-hati," ucap dia dikutip dari laman Unpad, Selasa (3/10/2023).
Baca juga: Lulus S3 dengan IPK 4,00 di UPI, Puri: Semua Itu karena Suami dan Anak
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.