BEBERAPA tahun terakhir, dunia perguruan tinggi Indonesia disibukkan dengan pengejaran akreditasi internasional dan "lomba lari” rangking global. Pencapaian akreditasi internasional dijadikan bagian dari kontrak rektor/direktur perguruan tinggi (terutama di perguruan tinggi negeri/PTN) dengan Mendikbuddiktiristek saat pelantikan.
Rangking global adalah bagian branding strategis Indonesia untuk masuk jajaran negara pemilik top universities dunia. Pimpinan perguruan tinggi menyediakan dana miliaran rupiah untuk bisa mendapatkan status akreditasi internasional.
Beberapa universitas dan institut terbaik di Indonesia diberikan dana insentif khusus untuk bisa bersaing dalam perebutan tempat pada perangkingan kampus global. Indonesia masih ketinggalan jauh dari Malaysia dan negara-negara anggota G-20 terkait hal itu.
Baca juga: 5 Prodi FPIK Unpad Raih Akreditasi Internasional ASIIN
Sejak akhir 2021 hingga detik ini, saya menjalani peran sebagai koordinator akreditasi internasional di kampus tempat saya bekerja. Perjalanan yang dimulai dari nol karena memang kampus saya sekarang belum pernah mengikuti proses akreditasi internasional.
Di awal-awal, banyak keraguan yang menyelimuti. Banyak kolega yang berpikir bahwa untuk mengikuti proses akreditasi internasional, sebuah kampus harus memiliki kelas internasional dan mahasiswa asing.
Banyak juga yang mengira untuk maju ke proses akreditasi internasional, prodi (program studi) yang ingin dinominasikan harus terakreditasi A atau Unggul dari BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi) atau LAM-PT (Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi).
Setelah berbagai workshop dan pertemuan, perlahan kabut terkait akreditasi internasional itu terbuka. Hal yang paling penting adalah mencari agency akreditasi internasional yang diakui Dikti. Jumlahnya ada 20 lembaga sebagaimana tertuang dalam Kepmendikbud Nomor 83/P/2020 tentang Lembaga Akreditasi Internasional.
Korban dari Kepmendikbud ini lumayan banyak. Di awal-awal pencarian mitra, tim kami menjalin kontak dengan ASIC yang berbasis di United Kingdom (UK) atau Britania Raya. Namun nama ASIC tidak tercantum dalam lembaga akreditasi internasional yang diakui Dikti.
Politeknik Negeri Malang (Polinema), Politeknik Bandung (Polban), dan beberapa kampus lainnya yang sudah mendapatkan status akreditasi dari lembaga itu untuk beberapa program studi mereka kemudian harus gigit jari karena status akreditasi internasionalnya tidak diakui Kemendikbuddiktiristek.
Bayangkan, untuk berproses menjalani akreditasi internasional membutuhkan biaya Rp 1-3 miliar. Biaya itu semakin membengkak dengan tambahan biaya perbaikan, fasilitas, dan infrastruktur penunjang akreditasi. Berapa banyak uang yang “hilang” jika salah dalam memilih lembaga akreditasi internasional.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.