Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dinda Lisna Amilia
Dosen

Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya.

Catatan Awal Tahun: Belajar Mendidik Tanpa Mematikan Nalar

Kompas.com - 02/01/2023, 08:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA suatu ujian lisan mata kuliah Professional English akhir tahun kemarin, saya melempar pertanyaan-pertanyaan percakapan dasar pada mahasiswa menggunakan Bahasa inggris.

Pertanyaan-pertanyaan dasar saja untuk mendapatkan pandangan kemampuannya berbicara dalam Bahasa Inggris.

Seorang mahasiswi, sebut saja D mendapatkan pertanyaan dari saya, "Why you choose communication for this bachelor degree?"

Mahasiswi tersebut menjawab "Because my teacher told, I'm bad in accounting. I was graduating from vocational high school majoring accounting".

Saya menjawab, kenapa mendengarkan justifikasi dari gurunya? Akuntansi adalah skill yang spesifik, dia sudah punya bekal dasar.

Respons yang tidak saya duga adalah mahasiswi tersebut mbrebes mili, tidak lama kemudian air matanya jatuh. "Maaf, bu, saya terharu ada yang tanya seperti itu," ucapnya.

Hal ini bukan pertama kali terjadi. Dalam beberapa kesempatan dalam mengidentifikasi kemampuan penalaran mahasiswa yang seringkali kurang optimal.

Bila dirunut adalah bagaimana cara belajar dalam pendidikan dasar dan menengah yang sangat berorientasi pada guru.

Tidak dipungkiri, warisan pengajaran yang berorientasi pada guru masih mengakar dalam menuntut pelajar untuk tumbuh dalam keseragaman standar yang memprihatinkan.

Yang kadang kita lupa sebagai orang dewasa, masa-masa anak dan remaja menjadi periode pembentuk memori awal yang terpatri sepanjang kita hidup sebagai manusia.

Apa yang diajarkan, dicontohkan oleh lingkungan kita seperi keluarga dan sekolah, akan menjadi patron yang suatu hari kita sadari baik buruknya.

Beberapa orang cukup beruntung mempunyai keluarga dan sekolah yang bisa mengawal proses tumbuh kembang dan pendidikan, namun beberapa orang kurang beruntung.

Alih-alih mendapatkan proses yang baik, mereka malah terpapar lingkungan yang memberi luka dan menjadi trauma.

Bapak pendidikan kritis Paulo Freire pernah menuliskan, di sekolah, anak-anak seakan bernasib sama dengan pepohonan hutan yang sekitar mereka, digunduli, secara sistematis. Sekolah menjadi alat ampuh untuk menjadi “khalayak yang tercabut dari akarnya” (Freire: 1978).

Kemampuan berpikir anak tereduksi oleh pengulangan rutinitas yang dijejalkan dalam alam bawah sadar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com