Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Catatan Awal Tahun: Belajar Mendidik Tanpa Mematikan Nalar

Pertanyaan-pertanyaan dasar saja untuk mendapatkan pandangan kemampuannya berbicara dalam Bahasa Inggris.

Seorang mahasiswi, sebut saja D mendapatkan pertanyaan dari saya, "Why you choose communication for this bachelor degree?"

Mahasiswi tersebut menjawab "Because my teacher told, I'm bad in accounting. I was graduating from vocational high school majoring accounting".

Saya menjawab, kenapa mendengarkan justifikasi dari gurunya? Akuntansi adalah skill yang spesifik, dia sudah punya bekal dasar.

Respons yang tidak saya duga adalah mahasiswi tersebut mbrebes mili, tidak lama kemudian air matanya jatuh. "Maaf, bu, saya terharu ada yang tanya seperti itu," ucapnya.

Hal ini bukan pertama kali terjadi. Dalam beberapa kesempatan dalam mengidentifikasi kemampuan penalaran mahasiswa yang seringkali kurang optimal.

Bila dirunut adalah bagaimana cara belajar dalam pendidikan dasar dan menengah yang sangat berorientasi pada guru.

Tidak dipungkiri, warisan pengajaran yang berorientasi pada guru masih mengakar dalam menuntut pelajar untuk tumbuh dalam keseragaman standar yang memprihatinkan.

Yang kadang kita lupa sebagai orang dewasa, masa-masa anak dan remaja menjadi periode pembentuk memori awal yang terpatri sepanjang kita hidup sebagai manusia.

Apa yang diajarkan, dicontohkan oleh lingkungan kita seperi keluarga dan sekolah, akan menjadi patron yang suatu hari kita sadari baik buruknya.

Beberapa orang cukup beruntung mempunyai keluarga dan sekolah yang bisa mengawal proses tumbuh kembang dan pendidikan, namun beberapa orang kurang beruntung.

Alih-alih mendapatkan proses yang baik, mereka malah terpapar lingkungan yang memberi luka dan menjadi trauma.

Bapak pendidikan kritis Paulo Freire pernah menuliskan, di sekolah, anak-anak seakan bernasib sama dengan pepohonan hutan yang sekitar mereka, digunduli, secara sistematis. Sekolah menjadi alat ampuh untuk menjadi “khalayak yang tercabut dari akarnya” (Freire: 1978).

Kemampuan berpikir anak tereduksi oleh pengulangan rutinitas yang dijejalkan dalam alam bawah sadar.

Secara perlahan, justifikasi yang dibuat oleh pengajar masuk dalam benak para siswa dan menjadikannya percaya bahwa apa yang dikatakan orang lain adalah benar.

Mereka tidak percaya dengan diri mereka sendiri. Proses ini yang mematikan kemampuan pelajar dalam bernalar.

Alam bawah sadarnya sudah mengikuti bentuk dari apa yang diajarkan. Yaitu A adalah benar, dan B adalah salah.

Tidak ada faktor yang mengubah A, yang dalam perkembangannya bisa menjadi salah, dan B bisa menjadi benar, atau mencari irisan di antara benar dan salah yang bisa menjadi titik temu.

Semua menjadi mutlak karena daya nalar mereka telah dimatikan oleh kebiasaan yang sudah ditanamkan selama belasan tahun.

Lalu dosen di universitas yang menerima tipe mahasiswa seperti itu akan ikut menganggap hal tersebut adalah salah si mahasiswa yang tidak mau belajar.

Padahal, bila dirunut, mahasiswa adalah manusia dalam fase dewasa awal yang masih dalam tahap pencarian jati diri.

Setelah nalar dimatikan bertahun-tahun lamanya, butuh waktu bagi mahasiswa untuk memahami pentingnya melatih kemandirian dalam proses belajar di universitas.

Mengacu dari tipe belajar yang berbeda, kita perlu mengingat kembali kecerdasan majemuk yang mengafirmasi gagasan bahwa perbedaan individu adalah penting.

Ada sembilan kecerdasan menurut Gardner (2011), yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logika atau matematis, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan musikal, kecerdasan spasial, kecerdasan kinetik, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan spiritual.

Dengan demikian, sebagai pendidik, tidak sepantasnya kita memberikan justifikasi pintar dan bodoh, bisa dan tidak bisa.

Karena bila iya, maka kita tidak ada bedanya dengan guru dari D yang terlalu dini menjustifikasi D tidak bisa akuntansi. Hingga D memercayai hal itu menjadi garis hidupnya.

Pendidik yang dibutuhkan negeri ini, adalah mereka yang mau membedakan proses belajar mengajar berdasarkan kesiapan, minat, dan gaya belajar pelajar.

Selain karena tidak ada anak yang terlahir bodoh, pendidik diharapkan melihat pelajar dari sudut pandang beragam.

Sebagai pendidik, kita tidak bisa merasa superior hanya karena kita mempunyai kewenangan dalam memberi nilai.

Bila mayoritas mahasiswa dalam satu kelas mendapatkan nilai di bawah rata-rata, yang seharusnya dipertanyakan justru bukan mahasiswanya, melainkan kapabilitas pendidik itu sendiri.

Jangan sampai kita menjadi pendidik yang ketika membuat pelajar berpikir, mereka tidak berpikir secara spontan dalam cara mereka berlari atau melompat atau berteriak: mereka berpikir dengan maksud untuk menyenangkan orang dewasa, daripada dari rasa ingin tahu yang alami (Russel: 1932).

Pendidik memang bisa menjadi muara dari segala kebenaran dan kesalahan. Pendidik juga manusia dengan banyak luputnya, yang terus belajar untuk mendidik tanpa mematikan nalar.

Belajar untuk tidak menjadi pendidik yang dituliskan Pink Floyd dalam salah satu lagunya, When we grew up and went to school, There were certain teachers who would hurt the children in any way they could, By pouring their derision upon anything we did, Exposing every weakness, However carefully hidden by the kid.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/01/02/083911271/catatan-awal-tahun-belajar-mendidik-tanpa-mematikan-nalar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke