Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dinda Lisna Amilia
Dosen

Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya.

Catatan Awal Tahun: Belajar Mendidik Tanpa Mematikan Nalar

Kompas.com - 02/01/2023, 08:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Secara perlahan, justifikasi yang dibuat oleh pengajar masuk dalam benak para siswa dan menjadikannya percaya bahwa apa yang dikatakan orang lain adalah benar.

Mereka tidak percaya dengan diri mereka sendiri. Proses ini yang mematikan kemampuan pelajar dalam bernalar.

Alam bawah sadarnya sudah mengikuti bentuk dari apa yang diajarkan. Yaitu A adalah benar, dan B adalah salah.

Tidak ada faktor yang mengubah A, yang dalam perkembangannya bisa menjadi salah, dan B bisa menjadi benar, atau mencari irisan di antara benar dan salah yang bisa menjadi titik temu.

Semua menjadi mutlak karena daya nalar mereka telah dimatikan oleh kebiasaan yang sudah ditanamkan selama belasan tahun.

Lalu dosen di universitas yang menerima tipe mahasiswa seperti itu akan ikut menganggap hal tersebut adalah salah si mahasiswa yang tidak mau belajar.

Padahal, bila dirunut, mahasiswa adalah manusia dalam fase dewasa awal yang masih dalam tahap pencarian jati diri.

Setelah nalar dimatikan bertahun-tahun lamanya, butuh waktu bagi mahasiswa untuk memahami pentingnya melatih kemandirian dalam proses belajar di universitas.

Mengacu dari tipe belajar yang berbeda, kita perlu mengingat kembali kecerdasan majemuk yang mengafirmasi gagasan bahwa perbedaan individu adalah penting.

Ada sembilan kecerdasan menurut Gardner (2011), yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logika atau matematis, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan musikal, kecerdasan spasial, kecerdasan kinetik, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan spiritual.

Dengan demikian, sebagai pendidik, tidak sepantasnya kita memberikan justifikasi pintar dan bodoh, bisa dan tidak bisa.

Karena bila iya, maka kita tidak ada bedanya dengan guru dari D yang terlalu dini menjustifikasi D tidak bisa akuntansi. Hingga D memercayai hal itu menjadi garis hidupnya.

Pendidik yang dibutuhkan negeri ini, adalah mereka yang mau membedakan proses belajar mengajar berdasarkan kesiapan, minat, dan gaya belajar pelajar.

Selain karena tidak ada anak yang terlahir bodoh, pendidik diharapkan melihat pelajar dari sudut pandang beragam.

Sebagai pendidik, kita tidak bisa merasa superior hanya karena kita mempunyai kewenangan dalam memberi nilai.

Bila mayoritas mahasiswa dalam satu kelas mendapatkan nilai di bawah rata-rata, yang seharusnya dipertanyakan justru bukan mahasiswanya, melainkan kapabilitas pendidik itu sendiri.

Jangan sampai kita menjadi pendidik yang ketika membuat pelajar berpikir, mereka tidak berpikir secara spontan dalam cara mereka berlari atau melompat atau berteriak: mereka berpikir dengan maksud untuk menyenangkan orang dewasa, daripada dari rasa ingin tahu yang alami (Russel: 1932).

Pendidik memang bisa menjadi muara dari segala kebenaran dan kesalahan. Pendidik juga manusia dengan banyak luputnya, yang terus belajar untuk mendidik tanpa mematikan nalar.

Belajar untuk tidak menjadi pendidik yang dituliskan Pink Floyd dalam salah satu lagunya, When we grew up and went to school, There were certain teachers who would hurt the children in any way they could, By pouring their derision upon anything we did, Exposing every weakness, However carefully hidden by the kid.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com