Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rully Raki
Dosen

Pemerhati Sosial dan Pembangunan

Sokrates dan Tantangan Profesi Guru Masa Kini

Kompas.com - 01/12/2022, 11:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

APABILA orang bertanya, apa profesi yang termasuk profesi paling tua dan paling banyak dan punya makna yang khas, maka guru adalah salah satunya.

Guru telah menjadi salah satu profesi paling tua sejak homosapeins mulai membangun paradabannya. Sebab, manusia adalah homo socius (makhluk sosial) yang selalu butuh orang lain.

Manusia bekerjasama, mewarisi pengalaman dan pengetahuan kepada generasi berikutnya. Profesi guru muncul dari sini.

Sementara itu, guru dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata Gu (gelap) dan Ru (terang), yang berarti pembawa terang atau pencerahan bagi mereka yang ada dalam kegelapan dan ketidaktahuan (Efendi, 2019), telah menempatkan ia menjadi profesi yang punya makna tersendiri.

Model profesi lawas ini juga sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Ketika itu muncul Sokrates (470-399 SM).

Dengan gaya mengajar dialektikanya, metode maeutika tekhne (seni kebidanan) sampai dengan kematiannya yang melegenda, yakni dengan menegak racun, Sokrates telah menjelma menjadi legenda bagi para guru.

Pada Hari Guru Nasional ke 77 ini, ada sedikit ulasan sederhana terlampir dari aktus lampau Sokrates sebagai pesan sederhana bagi kiprah para guru, terutama di tengah tantangan pendidikan era pendidikan modern dan era digital masa kini.

Dielektika dan tantangan penemuan jati diri

Berbeda dengan Sokrates pada zamannya, hari-hari ini, para guru termasuk para pengajar perguruan tinggi disibukan berbagai aktivitas pengajaran, praktik kelas, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat (Tridharma Perguruan Tinggi).

Semua itu dilakukan berpedomankan rencana pembelajaran dan kurikulum sebagai bentuk dari model pendidikan modern.

Penerapan kurikulum merdeka belajar, terutama di era digital ini, tentu membuat para guru semakin sibuk beradapatasi.

Di level pendidikan tinggi, misalnya, berbagai program mesti terealisasi seperti program belajar di luar kampus, magang di dunia industri sampai pertukaran pelajar. Tentu tujuan dari itu adalah untuk memenuhi capaian pembelajaran dan jumlah sistem kredit semester (SKS).

Kesibukan demikian tentunya tidak pernah terjadi pada masa Sokrates di Yunani Kuno dulu. Guru dalam pengalaman Sang Filsuf ini, terpampang dalam kegiatannya yang berjalan dari daerah ke daerah, dari pasar ke pasar dari lapangan ke lapangan untuk berdialektika.

Dalam proses dialektika ini ada dialog tanya jawab antara Sokrates dan lawan bicara. Mereka berdiskusi tentang banyak hal. Mereka bertanya, menjawab dan menanggapi sampai berujung pada konklusi yang memuaskan dahaga intelektual untuk mencapai kebenaran.

Meskipun sudah dilakukan berabad lalu, metode Sokrates tetap dipraktikan hingga kini. Cara ini terus dipakai dan dikembangkan dalam seminar maupun diskusi-diskusi era modern.

Namun tetap ada diferensiasi pada era ini, di mana patokan kurikulum dengan capaian-capaian pembelajaran tetap menjadi rambu-rambu dan patokan yang mesti dipatuhi dan dipenuhi.

Ketatnya rambu-rambu dan patokan sistem pendidikan telah dibangun oleh negara dengan intensi menjaga dan memproduksi lulusan yang diidealkan. Entahkah sistem ini sudah cukup efisien dan efektif, banyak dari para ahli pendidikan yang telah menilainya.

Namun berangkat dari pengalaman Sokrates, beberapa pertanyaan dapat dilontarkan di sini.

Pertama, sungguhkah sistem pendidikan ini mampu menyediakan kondisi-kondisi yang dapat membuat para pelajar termasuk para pengajarnya, mampu berdialektika, bertanya, meragukan dan mencari jawaban secara bebas sehingga mampu menemukan jati dirinya sendiri?

Kedua, apakah Kurikulum Merdeka dengan berbagai penekannya, bukanlah sistem dengan kecenderungan untuk mencetak lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia industri?

Dan jika benar demikian, apakah kita tidak sedang berada dalam proses mencetak robot-robot yang siap melayani mesin-mesin industri serta para investor sebagai pemiliknya?

Pertanyaan-pertanyaan tadi patut dilayangkan sebab, sejatinya pendidikan, dengan tujuannya memanusiakan manusia, mestinya sanggup menciptakan proses penggalian jati diri manusia dengan segala kekhasannya.

Perkembangan sistem pendidikan masa kini, cukup dominan mendorong manusia menjadi homo faber (makhluk pekerja) yang terus bekerja tanpa bisa bertanya, menemukan jati diri dan bertumbuh secara seimbang.

Jika hal ini yang terjadi, maka manusia akan hidup dalam rutinitas sama. Manusia akan mereproduksi kegiatan yang sama dan jatuh ke dalam kehidupan satu dimensi seperti yang pernah dikatakan Herbert Marcuse (1964) sebagai Manusia Satu Dimensi.

Dalam kondisi seperti ini, agaknya memang cukup sulit dan rumit memastikan bahwa tiga aspek utama pendidikan versi Benjamin S. Bloom (1956), yakni kognitif, afektif, psikomotirik, terpenuhi secara proporsional dan seimbang.

Meskipun proses belajar dan mengajar dirancang dalam waktu yang agak lama, yakni dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Dikatakan demikian, sebab waktu untuk tiap orang untuk menemukan jati diri dan kebenaran atau menemukan arah kehidupan sehingga membuat orang puas dan bahagia, tidak selalu sama bagi semua orang.

Hal ini membuat peran para guru semakin runyam. Keruyamannya terdapat pada proses penyesuaian antara proses belajar, hasil pembelajaran, tuntutan kurikulum dengan fakta kondisi setiap peserta didik yang unik.

Keunikan itu tentunya muncul dari ragam latar belakang kehidupan dan keluarga mereka sampai dengan tujuan dan impian masing-masing.

Kondisi ini hampir pasti memunculkan ketiadaan limitasi proses pembelajaran, baik pada peserta didik ataupun bagi para guru sendiri.

Jika memang demikian, maka dalam setiap momen mengajar para peserta didik, para guru atau pengajar mesti bisa menggali dan memaksimalkan setiap potensi unik setiap peserta didik.

Dalam hal ini, diperlukan proses penggalian dan penemuan jati diri peserta didik, seperti yang pernah dipraktikan Sokrates melalui Maeutika Tekhne (metode kebidanan).

Seperti seorang bidan yang membantu pasien melahirkan, perlu ada cara-cara kreatif para pengajar sehingga bisa membantu para muridnya dapat melahirkan dan menemukan siapa diri mereka sendiri.

Hal ini dibuat dengan proses penilaian kemampuan, termasuk membuat mereka melihat kekurangan dan kelebihannya sehingga mampu merumuskan sendiri model manusia seperti apa yang ingin mereka capai nanti.

Mekanisme ini tentu akan membuat mereka bisa mengenal diri sendiri secara dekat. Dengan mengenal diri secara intensif, akan memaksimalkan skill dan kapasitas hidup mereka secara optimal sehingga hidup mereka akan berguna dan mereka sanggup merasa puas dan mencapai kebahagiaan.

Proses ini menjadi urgen, sebab di era post-modern ini, di mana hidup manusia disibukan dengan pekerjaan dan transformasi dunia, digitalisasi yang terus belari dan siap menabrak ke segala arah (A Runaway World) (Giddens, 2003), eksistensi dan aktus hidup manusia tidak bisa hanya dipatok pada soal perkembangan skill atau pengetahuan untuk melayani kepentingan dunia industri saja.

Sebab, segala keunikan, keinginan dan hasrat manusia tidak bisa dikurung dalam sebuah ruang atau dipagar untuk mengikuti jalur tuntutan kebutuhan dunia industri yang semakin mengglobal dan menjadi digital ini.

Fakta sudah membuktikan bahwa di negara-negara maju dengan sistem pendidikan yang ketat seperti di Jepang, tingkat stres dan bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak muda atau juga oleh para pekerjanya cukup tinggi (reuters.com).

Selain itu, peran guru dengan metode kebidanan ala Sokrates semakin penting, saat hari-hari belakangan ini, ketika digitalisasi telah memundahkan proses pembelajaran sekaligus mengkreasikan ruang kosong dengan potensi kemunculan problem pendidikan.

Ini terjadi akibat ketiadaan filter dan ketergantungan para peserta didik kepada alat-alat digital. Sebab, gadget dan jaringan digital hanya akan menyediakan big data pada para peserta didik tanpa memiliki filter atau penyaring.

Tidak ada penyaring untuk melihat sejauhmana data atau informasi itu bermanfaat dan kontekstual serta sesuai dengan kebutuhan dan kekhasan masing-masing peserta didik baik secara fisik mauapun secara emosional.

Jika ini tidak terjadi, maka bagaimana mungkin para peserta didik menemukan jati dirinya, karena terlalu banyak informasi dan data yang masuk tanpa ada yang membantu dan mengarahkan mereka?

Oleh karena itu, mesin (peralatan digital) termasuk jejaring digital, tidak akan pernah bisa menggantikan peran guru. Hanya guru yang bisa mengarahkan dan membantu para peserta didik untuk menemukan jati diri dan potensi diri.

Membangun ruang otokritik

Proses dan metode belajar, seturut Sokrates mungkin terkesan lampau atau kuno. Namun proses dan metode ini sanggup membangun sebuah ruang otokritik.

Ruang ini berlaku bagi guru dan peserta didik dalam proses belajar dan mengajar atau juga bagi mereka yang punya kapabilitas dalam mengambil kebijakan di dunia pendidikan.

Ruang otokritik ini ialah ruangan yang berfungsi untuk melihat dan menilai setiap model dan sistem pendidikan yang diterapkan. Ruangan ini membantu para peserta didik dan para pengajarnya sehingga bisa menemukan jati diri sebagai manusia.

Pertama, ruang otokritik membantu para guru menilai dan menentukan bagaimana metode yang bisa diterapkan sehingga mereka bisa membantu para peserta didiknya.

Bantuan ini berguna agar peserta didik dapat berkembang dan bertumbuh secara proposional, efektif dan efesien, menjadi manusia yang semakin manusiawi.

Sebagaimana seorang bidan, mereka dibantu untuk melahirkan potensi diri dan sanggup menemukan jati diri dalam keunikan dan kekhasan masing-masing.

Hal ini kemudian memampukan para peserta didik untuk memberikan kontribusi yang berarti, baik itu dalam karya dan buah pikir secara mandiri dan merdeka.

Tentu sumbangsih ini adalah hal penting bagi perkembangan paradaban manusia dalam berbagai bidang, baik itu sosial, budaya, ekonomi, politik dan lainnya.

Kedua, ruang otokritik ini juga bisa dipakai bagi para pengambil kebijakan, untuk menilai, sejauh mana dan sampai pada batas mana, setiap standar pendidikan, termasuk kurikulum dan berbagai patokan pengajaran dan pemberian nilai sudah membuat para peserta didik tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang mengenal diri dan kapasitas diri.

Dengan itu mereka mampu berkembang secara seimbang dan khas. Hal ini juga yang kemudian membantu mereka untuk menjadi berguna bagi masyarakat karena sanggup memberikan warna yang unik dengan kehadiran diri yang khas serta sumbangan potensial bagi masyarakat dunia ini.

Ketiga, pada era digital dan global ini pun, ruang otokritik yang sama, juga bisa dipakai untuk menilai, sungguhkan digitalisasi dan globalisasi yang ada sudah sangat membantu proses belajar-mengajar.

Selain itu, sejauh manakah digitaliasi bisa membantu para siswa atau pun para guru untuk semakin mencintai profesinya sebagai guru dan pengajar dan membuat para siswa berkembang secara baik dan terukur dalam menemukan jati diri mereka.

Sokrates mungkin sudah tiada berabad-abad yang silam. Namun warisan sang filsuf bisa menjadi bentara yang memberikan sedikit terang harapan bagi para guru dan para pengajar untuk mendesain model pembelajaran yang tidak hanya berpatokan pada standar pendidikan dan sistem-sistem kaku yang tidak membebaskan dan memerdekakan manusia, tetapi sanggup menggali potensi diri setiap peserta didik, termasuk secara tidak langsung menggali potensi dan kesungguhan dari para guru dan pengajar itu sendiri.

Spiritualitas kehadiran sebagai seorang bidan yang membantu para peserta didik untuk melahirkan dan menemukan potensi diri, tidak bisa ditawar, terutama dalam globalisasi dan digitalisasi, dengan berbagai tantangan yang dihadapi guru masa kini, di mana para peserta didik yang terus-menerus dibuat pasif dan menghamba pada gadget dan menghamba pada ketersediaan big data untuk mencari setiap solusi persoalan hidup.

Sungguh, ini bukanlah pekerajaan yang mudah. Integritas dan kesungguhan menjalankan profesi sebagai guru mesti terus dibangun.

Belajar dari tindakan Sokrates yang rela mati menegak racun karena membela apa yang dianggap benar, mungkin menegaskan bahwa pengorbanan dari para guru pun dibutuhkan untuk menjalankan misi mulia ini, yakni memanusiakan manusia.

Alasan ini jugalah yang membuat profesi ini selain memiliki nilai dan artinya tersendiri, tetapi juga membuat para guru selalu punya tempat tersendiri di hati setiap muridnya.

Selamat merayakan Hari Guru Nasional ke-77.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com