Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siswi Dipaksa Pakai Jilbab di Bantul, Ini Komentar Dosen UM Surabaya

Kompas.com - 02/08/2022, 16:03 WIB
Mahar Prastiwi

Penulis

KOMPAS.com - Baru-baru ini muncul pemberitaan tentang siswa SMA di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang mengalami depresi karena diduga dipaksa gurunya memakai jilbab.

Peristiwa ini menyita perhatian sejumlah pihak. Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Radius Setiyawan turut memberikan pandangannya.

Menurutnya, perdebatan tentang jilbab di sekolah negeri bukan sesuatu yang baru. Beberapa tahun lalu, perdebatan yang sama juga pernah ada di Yogyakarta, Banyuwangi, Jakarta, dan beberapa wilayah di Indonesia.

Dari semua hasil perdebatan tersebut selalu berujung pada ungkapan permohonan maaf pihak sekolah negeri atau pencabutan aturan (surat edaran) terkait keharusan penggunaan jilbab.

Baca juga: PT Freeport Indonesia Buka 20 Lowongan Fresh Graduates Program D4-S2

Kewajiban menggunakan jilbab sering menuai perdebatan

Radius menerangkan, hal yang menarik untuk diulas adalah selalu ada usaha untuk mewajibkan penggunaan jilbab di sebuah institusi pendidikan yang lagi-lagi menuai perdebatan.

Radius mengungkapkan, sekolah negeri sebagai arena bertemunya etnis, ras, dan agama. Terutama di sekolah negeri sering menjadi arena pertarungan identitas.

"Perdebatan kerap hadir dipicu oleh usaha memaksakan penggunaan jilbab untuk siswi yang merasa tidak menjadi bagian dari identitas tersebut," jelas Radius seperti dikutip dari laman UM Surabaya, Selasa (2/8/2022)

Baca juga: Perbedaan Anak Aktif dan Hiperaktif Menurut Dokter RSA UGM

Sekolah harus mengedepankan moral intelektual

Radius menjelaskan, dalam konteks ini negara perlu hadir. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, perlu memastikan tidak ada paksaan dalam penggunaan atribut tertentu.

"Negara perlu memastikan hal tersebut karena sekolah sejatinya adalah ruang yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan," imbuh Radius yang merupakan pengajar mata kuliah Cultural Studies ini.

Dia menekankan, pemimpin daerah kerap kali tak berdaya menghadapai hal tersebut, yang menjadi pertimbangan adalah politik yang menjadi faktor terbesar.

Ia memberi contoh soal usaha kepala daerah memperoleh simpati publik atas warga mayoritas adalah strategi populis yang kerap kali terjadi.

"Sehingga tidak heran banyak kepala daerah bersikap ambigu atas kebijakan tersebut," imbuh dia.

Baca juga: Lowongan Kerja PT Ultra Sakti bagi Lulusan D3-S1, Cek Kualifikasinya

Radius menegaskan, sekolah harus mengedepankan moral intelektual. Memastikan tidak ada pemaksaan soal tersebut menjadi penting.

"Tentunya hal tersebut juga berlaku bagi siswa yang ingin menggunakan jilbab di mayoritas yang tidak menggunakan jilbab. Negara harus memastikan juga tidak ada larangan tersebut," tutup Alumnus Kajian Budaya dan Media UGM ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com