Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Yusuf ElBadri
Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengkaji Islam dan Kebudayaan

Beragama secara Wajar

Kompas.com - 21/07/2022, 11:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENGAJARKAN Islam pada setiap anak sejak usia dini dan membiasakan mereka untuk hidup dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntunan Islam adalah baik. Bahkan sangat baik.

Tetapi masyarakat perlu mengantisipasi tumbuh dan berkembangnya sikap eksesif dalam beragama.

Eksesifisme adalah tindakan yang melampaui kewajaran atau ketentuan. Bila dikaitkan dengan sikap beragama dalam Islam, eksesif berarti sikap beragama melebihi batas kewajaran yang diajarkan atau disyariatkan oleh agama itu sendiri.

Misalnya, mewajibkan sesuatu yang dianjurkan atau hanya dihukumi sunat menurut syariat, mengharamkan sesuatu yang dibolehkan atau mubah menurut syariat.

Termasuk di luar kewajaran adalah memberi hukuman pada anak-anak usia dini karena bernyanyi, mendengar suara musik, atau bermain kelereng dengan alasan haram.

Belakangan sikap eksesif dalam beragama mulai menunjukkan gejalanya dalam masyarakat ketika minat beragama kian meningkat.

Gejala eksesifisme Islam dapat dilihat salah satunya adalah munculnya anggapan bahwa orangtua dapat disebut gagal hanya karena anak perempuannya yang belum baligh (umumnya dibawah usia 8-9 tahun) berpakaian tidak menutup aurat, belum mampu membaca doa-doa dan menghafal ayat pendek.

Lebih dari itu muncul anggapan bahwa anak saleh adalah anak yang sejak usia dini (3-7 tahun) sudah menggunakan jilbab bagi perempuan, bisa membaca, menghafal Al-Quran atau melafalkan doa-doa.

Pada saat yang sama dalam masyarakat muncul stigma tidak saleh bagi anak usia dini yang belum mampu membaca atau menghafal Al-Quran atau tidak berjilbab bagi anak perempuan usia dua-tiga tahun atau tidak bersalaman cium tangan dengan orang yang lebih tua.

Sikap tersebut di atas tidak saja dapat disebut sebagai tindakan berlebihan dalam beragama, tetapi sudah melampaui batas-batas agama.

Sebab anak usia dini tidak termasuk sebagai golongan yang mukallaf atau orang yang berkewajiban menjalankan perintah agama.

Semua perintah agama baru berlaku bagi setiap orang adalah ketika ia sudah dinyatakan baligh dan berakal.

Alasan umum tindakan berlebihan itu adalah untuk membiasakan atau proses pembiasaan. Alasan ini dapat diterima.

Tetapi perlu dicatat bahwa proses pembelajaran dan pembiasaan itu tidak patut dibentuk dengan stigma.

Jangankan kepada anak-anak yang belum dibebankan kepadanya kewajiban agama secara syariat, menuntut orang dewasa yang dalam proses belajar, atau anggaplah baru memulai “pertaubatan”, untuk mengamalkan ajaran agama secara sempurna dan menyeluruh, serta meninggalkan semua kebiasaan yang dianggap bertentangan dengan agama, adalah tindakan berlebihan. Sementara beragama adalah proses menjadi, bukan proses akhir.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com