Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dosen FK Unair Sarankan Hal Ini Sebelum Legalisasi Ganja Medis

Kompas.com - 13/07/2022, 16:22 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sedang mengkaji rencana legalisasi ganja medis.

Menanggapi hal itu, Dokter Divisi Psikiatri Adiksi di Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) dr. Soetjipto menyebut tidak perlu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.

Baca juga: Ada Residu Pestisida di Mi Instan? Begini Penjelasan Ahli Gizi Unair

"Sebagian negara mungkin sudah banyak yang melegalkan pemakaian ganja medis. Namun, belum dengan Indonesia. Karena perlu memperhatikan banyak faktor, misalnya terkait dengan Undang-Undang Narkotika," kata dia melansir laman Unair, Rabu (13/7/2022).

Indonesia menetapkan ganja sebagai narkotika golongan satu. Artinya, ganja hanya boleh dipergunakan untuk penelitian.

Ganja medis, kata dia, belum mendapat izin sebagai sarana pengobatan.

Berdasarkan hasil penelitian, ganja medis dapat berperan sebagai alternatif terapi atau pengobatan bagi beberapa penyakit.

Di antaranya, glaukoma, osteoporosis, diabetes melitus, kanker, hipertensi, bahkan dapat mengatasi kejang bagi pasien cerebal palsy.

Untuk itu, Tjipto menyarankan ganja medis dapat diturunkan golongannya menjadi narkotika golongan dua atau tiga agar dapat menjadi sarana terapi atau pengobatan.

"Meskipun nantinya boleh dapat bermanfaat sebagai obat, penggunaannya juga perlu pengawasan yang ketat. Jika ingin menggunakan harus melalui tenaga medis yang memang sudah terlatih. Jadi, ketika sudah legal, tetap penggunaannya tidak bisa semena-mena," ucap dr. Tjipto.

Pengawasan penggunaan oleh tenaga medis juga dapat meminimalkan efek samping yang timbul.

Baca juga: Pakar UM Surabaya: Banyak Konsumsi Daging Kurban Picu 9 Penyakit Ini

Tenaga medis dapat membantu mengawasi takaran atau dosis yang tepat penggunaan ganja medis bagi pasien.

Sehingga ganja tersebut juga tidak akan salah guna dan menyebabkan kecanduan.

"Kalau penduduk atau masyarakat di negara ini sudah kecanduan ganja semuanya, ini akan mengganggu stabilitas negara. Hal itu berkaca dari bangsa lain yang kacau karena bermula dari maraknya penyalahgunaan zat-zat psikoaktif tersebut. Untuk itu kalaupun ganja medis akan dilegalkan untuk terapi, pemerintah perlu membuat aturan yang jelas," jelas dia.

Perbedaan ganja medis dengan ganja rekreasional

Ganja medis itu, lanjut dia, berbeda dengan ganja yang untuk bersenang-senang (ganja rekreasional).

Sehingga relatif akan aman juga untuk pengobatan,” tutur dr. Tjipto.

Pada ganja medis terkandung zat cannabidinol (CBD) yang dapat menjadi obat untuk terapi bagi berbagai macam penyakit.

Sedangkan ganja rekreasional memiliki kandungan tetrahidocannabinol (THC). Kandungan THC tersebut yang membuat penggunanya merasakan sensasi "high" atau "fly".

Baca juga: Dollar AS Tembus Rp 15.000, Ini Kata Pakar Unair

"Selain itu pemakaian ganja rekreasional yang memang tidak ada pengawasan dari tim medis sehingga dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan. Misalnya infeksi paru-paru, serangan jantung, peradangan saluran pernafasan, lambat berpikir, hingga memicu munculnya gangguan bipolar," tukas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com