KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu, Densus 88 Antiteror Polri mengatakan 16 tersangka kasus dugaan teroris jaringan Negara Islam Indonesia (NII) yang ditangkap di wilayah Sumatera Barat (Sumbar) aktif merekrut anggota baru. Mereka diduga melibatkan anak-anak dalam proses perekrutan.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sekaligus dan Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti mengatakan, rekruitmen dengan melibatkan anak-anak adalah modus yang sudah lama digunakan, biasanya masuk ke sekolah-sekolah umum seperti SMA dan SMK.
“Dari beberapa kasus yang terjadi selama ini, yang disasar umumnya anak-anak yang memiliki masalah, misalnya kesulitan ekonomi, kesulitan belajar, kurang perhatian orangtua, ada masalah dengan keluarga. Sementara secara pemahaman agama bisa jadi terbatas. Perekrut biasanya masuk melalui alumni, guru, dan lainnya," ungkap Retno dalam keterangan tertulis, Kamis (31/3/2022).
Baca juga: Orangtua, Ini Dampak Bila Sering Memarahi Anak Saat Belajar
Retno berpendapat bahwa pendidikan memegang peran penting dalam menanamkan karakter demokrasi, toleran dan anti kekerasan, baik itu pendidikan di lingkungan keluarga maupun di lingkungan satuan pendidikan atau sekolah.
"Peran sekolah dan guru sangatlah penting dalam membangun sekolah damai dan menanamkan karakter toleran," terang Retno.
Ia pun menyebut sejumlah faktor yang menyebabkan anak-anak mudah dipengaruhi oleh jaringan teroris, termasuk NII.
Pertama, kata dia, pembelajaran di kelas yang tidak terbuka terhadap pergulatan pendapat dan cara pandang yang beragam, sehingga ada kecenderungan mengarah pada penyeragaman, pembelajarannya tidak didisain menghargai perbedaan.
Baca juga: Belajar dari Orangtua Jepang Cara Menanamkan Disiplin pada Anak
Kedua, ada kecenderungan para peserta didik dan pendidik terjebak pada “intoleransi pasif”, yaitu perasaan dan sikap tidak menghargai akan perbedaan (suku, agama, ras, kelas sosial, pandangan keagamaan dan pandangan politik), walaupun belum berujung tindakan kekerasan. Namun, pada era digital ini dapat terlihat dari postingan di media sosial mereka.
Ketiga, sikap siswa yang terbuka terhadap praktik intoleransi mulai berkembang di kelas ketika diajar oleh pendidik yang membawa ideologi dan pandangan politik pribadinya ke dalam kelas.
"Misalnya kasus pemilihan Ketua OSIS di salah satu SMAN di kota Depok yang diulang karena ketua OSIS terpilih beragama minoritas. Selain itu, ada pendidik berinisial TS yang mengajak para siswa di grup WhatsApp mengajak siswanya memilih ketua OSIS yang seagama. Bahkan ada kepala sekolah jenjang SD di Lampung yang ditangkap Densus 88 pada November 2021 karena diduga terlibat dalam aksi terorisme Jaringan Jamaah Islamiah (JI)," uangkapnya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.