Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

C20 Angkat Isu Masa Depan Anak dan Perempuan Terancam

Kompas.com - 08/03/2022, 15:10 WIB
Albertus Adit

Penulis

KOMPAS.com - Tak hanya pandemi Covid-19, dunia juga menghadapi banyak persoalan. Seperti krisi iklim, perang dan konflik serta krisis penghidupan.

Karenanya, penting sekali pemangku kepentingan dari seluruh dunia untuk berpartisipasi serta menyuarakan isu-isu dari permasalahan tersebut.

Terkait hal itu, Civil 20 (C20) yang merupakah salah satu engagement groups dalam G20 melaksanakan kick off meeting pada Senin (7/3/2022) di Bali Indonesia.

Baca juga: Hari Gizi Nasional 2022, Save The Children Gagas Telekonseling Gizi bagi Para Ibu

Sebagai salah satu anggota dalam C20, Save the Children menginisiasi side event atau pertemuan tambahan untuk menyerukan urgensi permasalahan dan risiko yang dihadapi anak di seluruh dunia.

Banyak ancaman global

Menurut CEO Save the Children Indonesia, Selina Patta Sumbung, C20 adalah salah satu ruang bagi para pemangku kepentingan untuk berpartisipasi menyuarakan prioritas isu yang perlu ditangani serius.

"Saat ini anak-anak dan orang muda di seluruh dunia dihadapkan pada ancaman global termasuk Covid-19," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Selasa (8/3/2022).

Selain itu, ancaman ini juga menghadirkan risiko besar bagi masa depan dan bumi yang berkelanjutan agar anak-anak dapat hidup aman, nyaman dan terpenuhi hak-haknya.

Untuk itu, penting untuk menyerukan hal ini agar menjadi prioritas dalam pembahasan G20.

Dijelaskan, 2022 ini sebagai penerima Presidensi Group 20 (G20), Pemerintah Indonesia berupaya membangun kesepahaman di antara pemimpin G20 terkait berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat global.

Baca juga: Ini Capaian Save The Children di 2021 demi Pemenuhan Hak Anak Bidang Pendidikan

Tentu agar pulih bersama dan pulih lebih kuat yang menjadi tema utama G20 “Recover Together, Recover Stronger”.

Adapun Side Event C20 yang diadakan Save the Children mengusung permasalahan penting yang perlu mendapat perhatian oleh seluruh pihak dan para pemimpin G20, di antaranya:

  • masalah kekerasan berbasis gender salah satunya ditandai dengan pernikahan anak
  • masalah perlindungan anak di ranah daring di mana karena pandemi anak menjadi terekspos dengan dunia digital dan online
  • masalah akses ke vaksin, tidak hanya vaksin Covid-19 tetapi juga terganggunya pelaksanaan vaksinasi reguler
  • krisis iklim dan ketahanan anak
  • masalah kesetaraan gender pada anak dan perlunya perlindungan sosial yang adaptif.

Dijelaskan, data dan fakta yang memperkuat permasalahan tersebut telah diutarakan oleh berbagai pihak seperti:

  • Unicef (2020) menyatakan bahwa setiap tahun, 12 juta anak perempuan menikah ketika berusia belum 18 tahun.
  • 21 persen dari perempuan muda menikah sebelum mereka berulang tahun ke-18.
  • DQ (Digital Quotient) Institute (2020) menemukan bahwa secara global anak-anak berusia 8–12 tahun mengalami masalah yang dinamakan cyber pandemic.
  • Terdapat 60 persen anak-anak 8–12 tahun terpapar dengan risiko dunia digital di antaranya bertemu dengan orang-orang asing atau mengalami pelecehan seksual, kekerasan atau muatan pornografi, ancaman, gangguan media sosial, cyber-bullying, dan risiko nama baik.

Tak hanya itu saja, menurut WHO dan UNICEF, cakupan vaksinasi reguler anak mengalami penurunan dari 86 persen di 2019, menjadi 83 persen di 2020.

Diperkirakan 23 juta anak umur di bawah 1 (satu) tahun tidak mendapatkan vaksin standar. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak 2009.

Baca juga: Orangtua dan Anak, Ini Tips Menjadi Warganet yang Baik

"Pada 2020, jumlah anak-anak yang sama sekali tidak mendapatkan vaksinasi meningkat menjadi 3,4 juta," terangnya.

Pada konteks krisis iklim, laporan terbaru Save the Children pada 2021 secara global “Born Into the climate Crisis / Lahir di masa krisis iklim”, menggambarkan bahwa anak-anak yang lahir pada tahun 2020 merupakan pihak yang paling terdampak parah akibat krisis iklim ini.

Secara global, anak-anak yang lahir pada 2020 akan menghadapi 7 persen lebih banyak kebakaran hutan, 26 persen lebih banyak gagal panen, 31 persen lebih banyak kekeringan, 30 persen lebih banyak banjir sungai, dan 65 persen lebih banyak gelombang panas jika pemanasan global dihentikan pada 1,5°C.

Ada diskriminasi gender

Sedangkan, Putri Gayatri selaku Ketua Dewan Penasihat Anak dan Orang Muda - Children & Youth Advisory Network – Save the Children Indonesia menjelaskan dalam permasalahan diskriminasi gender.

Pihaknya juga menyoroti bahwa diskriminasi gender seringnya dimulai dari masa kanak-kanak. Anak perempuan cenderung hak-haknya ditolak, tidak bersekolah, dipaksa menikah dan menjadi subyek kekerasan. Serta suara mereka tidak dihargai bahkan tidak didengar sama sekali.

"Sebagian besar kebijakan pemerintah berdampak langsung atau tidak langsung pada kehidupan anak dan orang muda. Namun kebijakan itu seringkali diambil dan dijalankan tanpa memperhatikan apa sesungguhnya yang dibutuhkan oleh anak dan orang muda," jelasnya.

"Kegagalan dalam mendengar dapat membuat pengambilan keputusan yang salah. Oleh karena itu, libatkan dan dengarkan kami. Kami siap bekerja sama untuk mencapai pemulihan yang inklusif dan lebih kuat," tegas Putri.

Baca juga: Siswa, Pahami 4 Kompetensi Literasi Digital yang Perlu Dimiliki

Dari Side Event ini, Save the Children dan organisasi sipil global berharap agar para pemimpin dunia khususnya pemimpin G20 dapat segera mengambil langkah nyata untuk mengatasi dampak berbagai persoalan yang menempatkan anak-anak dan orang muda pada risiko yang sangat tinggi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com