Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Unair: Transisi BBM Butuh Dua Tahun, Ini Alasannya

Kompas.com - 09/01/2022, 18:53 WIB
Albertus Adit

Penulis

KOMPAS.com - Bahan bakar fosil kini terus berkurang. Apalagi di Indonesia penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang memiliki research octane number (RON) rendah masih digunakan.

Tentu, hal ini disinyalir menjadi salah satu penyebab dari rentetan pencemaran lingkungan yang terjadi di Indonesia.

Karenanya, pemerintah bakal melakukan transisi perpindahan energi (shifting energy) ke BBM dengan RON di atas 91 yang lebih ramah lingkungan.

Baca juga: Keren, Universitas Pertamina Ubah Sampah Plastik Jadi BBM

Adapun BBM Premium (RON 88) akan digantikan dengan BBM Pertalite (RON 90), kemudian BBM Pertalite secara bertahap akan dihapus. Sehingga nantinya hanya akan ada BBM Pertamax (RON 92) dan BBM Pertamax Turbo (RON 98).

Pakar Ekonom Universitas Airlangga (Unair) Gigih Prihatono, S.E., M.S.E., menuturkan bahwa Indonesia saat ini memang memerlukan energi yang lebih ramah lingkungan. Ancaman terhadap perubahan iklim sudah cukup nyata di depan mata.

"Menurut perkiraan saya, Indonesia membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk benar-benar shifting pertalite," ujarnya dikutip dari laman Unair, Kamis (6/1/2022).

Ia menjelaskan, pemerintah perlu memperhatikan beberapa hal. Saat ini Indonesia sedang mengalami proses pemulihan (recovery) dari pandemi Covid-19 yang menyebabkan daya beli masyarakat di level bawah menjadi turun.

Tentunya, salah satu komponen hajat hidup orang banyak adalah terkait dengan BBM. Sehingga ketika peraturan tersebut diterapkan tanpa melihat proses recovery yang sedang berjalan, ditakutkan dapat mengurangi atau membebani masyarakat paling miskin.

"Menurut saya, jika shifting premium ke pertalite ini dibuat secara bertahap, tidak akan menjadi terlalu banyak masalah bagi perekonomian masyarakat Indonesia," terangnya.

Baca juga: Tanpa BBM, Kapal Nelayan Inovasi Mahasiswa ITS Ramah Lingkungan

Ada mitigasi risiko

Ia juga menjelaskan, mitigasi risiko paling umum terkait rencana kebijakan tersebut adalah terkait dengan beban masyarakat kecil yang semakin tinggi.

Pemerintah harus memberikan perlindungan terkait hal tersebut dengan beberapa program sosial seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Program Keluarga Harapan (PKH) untuk meredam dampak negatif yang timbul jika terjadi shifting BBM.

"Jika shifting diterapkan di masyarakat kota, dikhawatirkan dalam jangka pendek akan memicu timbulnya inflasi," imbuhnya.

Sebab, saat ini biaya BBM adalah salah satu komponen besar di dalam komponen bisnis suatu perusahaan terutama di sektor transportasi dan logistik.

Lonjakan inflasi tersebut harus dimitigasi sejak awal oleh pemerintah. Tujuannya agar tren inflasi yang cukup stabil di level tiga persen bisa tetap berlanjut ke depan.

Sedangkan dalam jangka panjang, kemungkinan besar yang akan terkena dampak adalah masyarakat. Transportasi publik di kota besar harus dipercepat dari segi kuantitas dan kualitas.

Baca juga: Mahasiswa ITS Inovasi Peralatan Dapur dari Anyaman Bambu

Dengan begitu, masyarakat bisa memiliki pilihan untuk memakai kendaraan sendiri dengan biaya lebih mahal atau memilih menggunakan kendaraan umum.

"Untuk kota-kota besar yang ada Indonesia, distribusi BBM relatif lancar. Namun tidak dengan distribusi BBM di kota kota kecil sehingga memerlukan perhatian lebih," tuturnya.

Jika tujuan shifting untuk dekarbonisasi, kendaran usia tua atau yang memiliki emisi di ambang batas, maka perlu ada aturan agar alat-alat tersebut tidak boleh ada di jalan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com