Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dosen UGM Jelaskan Sejumlah Upaya untuk Menangani Klitih di Yogyakarta

Kompas.com - 05/01/2022, 13:43 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

Melukai untuk eksistensi karena mereka anak muda dan ini yang lebih sulit untuk diatasi karena tidak merampas. Mereka melakukan koordinasi tidak harus ketemu misal melalui medsos membangun gerakan dan langsung bertemu di lokasi untuk eksekusi.

“Ini agak susah yang kriminal jejaring ideologinya tidak sekuat genk-genk yang tanpa merampas. Beberapa kali peristiwa penyabetan hanya dilakukan satu orang pelaku, dengan motor baru dari orang tuanya yang mendapat warisan, terus bergabung dengan genk, seperti itu kan persoalan eksistensi," ungkapnya.

Wahyu menyayangkan jika ada anak nakal di sebuah lingkungan bukannya dirangkul tetapi justru melabeli anak tersebut sebagai anak nakal. Akibatnya mereka pun merasa teralineasi dari komunitas dan kemudian membangun komunitas sendiri di mana mereka bisa eksis.

Dalam kondisi seperti ini, jika ingin mengurangi klitih maka masyarakat harus berperan. Ada banyak cara bisa dilakukan, misalnya dari komunitas anak muda melalui karang taruna atau komunitas ibu-ibu PKK dan lain-lain.

Baca juga: BCA Buka Magang Bakti Lulusan SMA-SMK dan D1-S1, Ini Cara Daftar

“Melakukan gerakan merangkul bersama secara lebih masif, ibu PKK membahas bagaimana pengasuhan anak zaman sekarang sebagai upaya mengurangi risiko anak muda melakukan tindakan negatif. Karang Taruna melalui kegiatan positif dan produktif yang bisa mengakomodir anak muda demikian juga bapak-bapak bahas isu pengasuhan dan lain-lain,"urainya.

Ia menyayangkan kondisi saat ini dimana beban orang tua juga sangat luar biasa. Tidak sedikit dari mereka memiliki beban ekonomi karena PHK dan sebagainya.

Belum lagi adanya kebutuhan yang semakin meningkat sehingga tidak berkesempatan melakukan tindakan yang ideal melalui komunitas untuk menyelamatkan generasi muda.

Apalagi dengan hadirnya teknologi informasi di era pandemi memaksa orang untuk bertransformasi ke masyarakat digital. Implikasinya adalah pada konsumsi dan produksi dan salah satu yang paling kentara muncul adalah invidualisme yang sangat tinggi.

“Ini tentunya juga berlaku bagaimana mereka berelasi sosial, artinya tidak heran jika mereka kemudian melihat fenomena klitih bukan menjadi bagian dari tugasnya. Bisa jadi seperti itu karena individualisme tinggi," paparnya.

Oleh karena itu, tantangan kedepan adalah menciptakan komunalitas di masyarakat dengan berbagai aktivitas agar partisipasi mereka untuk menjaga sesama warga meningkat. Misalnya Poskamling di masa pandemi yang mulai berkurang diaktifkan kembali agar anak muda yang suka nongkrong tidak jelas diajak pada aktivitas menjaga keamanan lingkungan.

Hal ini agar anak muda lebih berkontribusi positif ke masyarakat. Sementara di saat ronda para sesepuh masyarakat bisa secara informal menyampaikan program-program bagus terkait pembangunan lingkungan atau desa.

“Jadi, banyak cara yang bisa dilakukan dengan memperkuat komunalitas, dan dalam komunalitas yang berupa kehidupan bersama itu kan sebenarnya nyawanya orang Jawa ada di situ," imbuhnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com