Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/12/2021, 17:45 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

Penulis: Silviana Dharma | KPG

KOMPAS.com - Kunci demokrasi adalah partisipasi politik dari masyarakat. Demikian pernyataan Benjamin Barber, penulis dan pakar teori politik Amerika dalam bukunya Strong Democracy yang terbit pada 1984 dan telah direvisi pada 2004.

Kehadiran internet, dan khususnya media sosial, membuka peluang sebesar-besarnya untuk warga negara menyuarakan pendapat, mendapatkan akses informasi politik, dan terlibat aktif dalam berbagai aktivitas politik.

Bahkan, mengintervensi kebijakan politik yang dinilai merugikan masyarakat. Dengan begitu, internet dan media sosial jelas pendukung terbesar demokrasi.

Meski begitu, Peter Dahlgren, Peneliti dan Profesor Emeritus Departemen Komunikasi dan Media Lund University, Swedia melalui bukunya "The Political Web: Media, Participation, and Alternative Democracy" (New York: Palgrave Macmillan, 2013) memberikan catatan bahwa kemampuan media sosial dan platform media baru dalam memfasilitasi partisipasi politik warga tidak bisa begitu saja dapat dianggap sebagai solusi bagi persoalan demokrasi.

Terlalu reduktif untuk mengatakan bahwa problem demokrasi teratasi dengan hadirnya media baru berbasis internet, termasuk munculnya berbagai platform media sosial.

Timothy Synder, Profesor Yale University pun menegaskan hal serupa.

Menurutnya, “media sosial bukanlah pengganti. Media sosial meningkatkan kebiasaan mental yang kita gunakan untuk mencari rangsangan dan kenyamanan emosional, yang berarti kehilangan perbedaan antara apa yang terasa benar dan apa yang sebenarnya benar.”

Dan di sinilah kita sekarang, terjebak di tengah banjir informasi dari media sosial yang sayangnya, tidak semua mengandung kebenaran.

Akan tetapi, sebagian masyarakat dibuat terlena dan percaya begitu saja pada informasi yang terkandung di dalamnya. Para ahli menyebut fenomena ini sebagai era pasca-kebenaran (post-truth).

Baca juga: Ajak Generasi Muda, Human Initiative Inisiasi Bedah Buku Bertema Kemanusiaan

Senada dengan kegusaran Dahlgren dan Synder tersebut, Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan dan stafnya, Barito Mulyo Ratmono menyusun buku Demokrasi di Era Post-truth (KPG, 2021).

Keduanya lebih lanjut memperlihatkan betapa media sosial memiliki kapasitas menyebarluaskan informasi yang salah, memunculkan teori-teori konspirasi liar, membicarakan kubu tertentu secara negatif tanpa dasar yang jelas, serta menyebabkan terjadinya polarisasi di masyarakat.

Pada titik ini, media baru berbalik menampakkan wajahnya yang lain, yang justru menjadi ancaman bagi demokrasi. Fenomena ini pernah menghantui Indonesia pada Pemilu 2014 dan 2019, serta Pilkada DKI Jakarta 2017.

Bentrok antara tim sukses tak terhindarkan, mulai dari adu mulut di media sosial sampai baku hantam di dunia nyata. Usai pemilu, kedua kubu masih berseteru.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi terjadi secara global. Contoh kasus ancaman demokrasi di era post-truth paling kesohor dapat dilihat pada Peristiwa Pilpres Amerika Serikat 2016 dan 2020.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com