Pada artikel sebelumnya, kita telah membahas mengenai kalimat ambigu dan diam di masa kritis sebagai dua hal yang perlu dihindari seorang pemimpin yang berkesadaran. Pada artikel ini, kita akan membahas mengenai pentingkah vulnerabilitas bagi seorang pemimpin.
Sebelumnya, apakah yang dimaksud dengan vulnerabilitas? Dan apakah hubungannya dengan seorang pemimpin yang berkesadaran?
Sederhananya, vulnerabilitas ibarat sebuah kondisi di mana kita menurunkan perisai pelindung dan persenjataan kita, dan berani untuk dilihat sebagaimana adanya, tanpa kepura-puraan.
Kedengarannya, vulnerabilitas memang tidak cocok jika diterapkan pada seorang pemimpin, khususnya di dunia bisnis. Bukankah di dunia bisnis, ini tentang makan atau dimakan? Apa jadinya jika sang pemimpin sudi untuk menunjukkan kelemahannya?
Seperti yang kita ketahui, para pemimpin memang kerap kali menunjukkan sisi yang penuh kepercayaan diri dan dapat diandalkan. Padahal, pasti ada saatnya di mana para pemimpin tersebut tidak tahu tindakan apa yang harus diambil, khususnya dalam situasi yang penuh resiko dan ketidakpastian.
Situasi-situasi tersebut juga membangkitkan respon emosional yang sama seperti saat kita tengah diburu oleh pemangsa.
Layaknya kura-kura yang berlindung di balik tempurungnya, dan landak yang menunjukkan bulunya yang tajam ketika merasa terancam, kita, manusia, juga akan memakai perisai pelindung kita ketika kita mencium adanya bahaya.
Ya, kita terus berlindung dan bersembunyi, bukannya menghadapi dan menerima perasaan takut tersebut sembari berusaha mencari tahu jalan keluarnya.
Perisai tersebut seringkali tidak kasat mata, ia dapat berupa sandiwara di mana kita berpura-pura bahwa kita sangat percaya diri padahal sebenarnya ketakutan, berbicara penuh kepastian ketika sebenarnya tidak yakin, menyembunyikan kesalahan karena takut tidak akan dapat diterima oleh orang lain, hingga menghindari konfrontasi untuk menjauhkan kemungkinan akan menunjukkan sisi emosional diri.
Baca juga: Siapkan SDM Unggul Pascapandemi, ITC Gelar Leadership Seminar 2021
Sayangnya, upaya untuk menjaga persona ini sebetulnya merupakan perkelahian tanpa henti dengan diri kita sendiri. Dengan menciptakan ilusi bahwa kita sempurna, memiliki jawaban atas setiap masalah, atau hampir tidak pernah salah, kita sebenarnya sedang menghambat pertumbuhan diri sendiri dan orang di sekitar kita.
Bagaimana bisa?
Kita tumbuh dan diajari untuk menyembunyikan perasaan kita yang sebenarnya dan menampilkan potret kehidupan yang sempurna. Kita diajari bahwa mengomunikasikan apa saja yang merupakan kekurangan kita adalah tanda kelemahan, dan untuk meraih kesuksesan, kita harus berpura-pura bahwa kita bisa, kita mampu dan kita tidak butuh apa-apa (we have what it takes). Sehingga, bukanlah suatu hal yang aneh jika pemikiran ini masih kita bawa ke dalam dunia kerja. Kita mengabaikan (denial) apa yang kita rasakan, menipu diri sendiri dan orang lain.
Bentuk-bentuk denial dapat berupa:
Ya, ketika kita tidak menerima vulnerabilitas kita, sering ditemui jalan keluarnya ialah dengan melakukan hal-hal pada list di atas. Dari semua hal tersebut, pesan apa yang diterima oleh anggota tim? Bahwa mereka tidak boleh membuat kesalahan. Dan jika terdapat kesalahan malah ditutupi.
Kebalikan dari itu semua, vulnerabilitas adalah keberanian untuk menjadi diri sendiri ketika berada dalam situasi yang serba tidak pasti atau di luar kendali. Ia adalah kekuatan untuk disaksikan apa adanya, keberanian untuk menerima bahwa ada kalanya kita tidak tahu, untuk mengakui kesalahan, dan menerima bahwa seorang pemimpin pun masih terus dan perlu belajar.
Baca juga: Implementasi Cyber Leadership Perguruan Tinggi di Tengah Pandemi Covid-19