Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BRIN dan AII Dorong Inovasi Peneliti Jadi Pilar Akselerator Pertumbuhan Ekonomi

Kompas.com - 11/11/2021, 11:30 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Asosiasi Inventor Indonesia (AII) terus mendorong agar inovasi hasil peneliti Indonesia mampu menjadi pilar akselerator pertumbuhan ekonomi pascapandemi Covid-19.

Sayangnya, hasil penelitian saat ini masih banyak yang belum memiliki nilai ekonomis dan berhenti pada paten atau jurnal ilmiah semata.

Fakta ini mengemuka dalam webinar bertajuk "Bridging Invention to Innovation to Overcome The Valley of Death Syndrome" yang digelar Asosiasi Inventor Indonesia (AII) secara daring pada Rabu, 10 November 2021.

"Riset dan inovasi belum menjadi pilar utama bagi Indonesia karena ekosistemnya belum mengarah ke sana," ungkap Mego Pinandito, Plt. Deputi Bidang Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN.

Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, termasuk kalangan industri bagaimana mengubah pandangan tentang pentingnya riset untuk kemajuan bangsa," tambah Mego.

Mego berharap, kolaborasi erat antara inventor dan industri dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga mencapai angka 6 koma sekian. Karena itu, Mego menjelaskan pihaknya mendorong strategi penguatan SDM dan infrastruktur litbang.

"Setelah itu, baru dikejar lewat pendekatan triple helix. Yang jadi pertanyaan sekarang, kenapa banyak riset bagus-bagus, tetapi sedikit sekali yang jadi produk komersial," kata Mego.

Jembatan inventor dan investor

Saat ini, ungkap Mego, hampir 80 persen hasil riset yang dikembangkan para peneliti di Indonesia berasal dari dana pemerintah. "Nantinya kami ingin, kondisinya berbalik menjadi 20 persen pemerintah, sisanya 80 persen oleh pihak swasta," tegas Mego.

Baca juga: Festival Penelitian, Universitas Pertamina Upayakan Ragam Inovasi

"Hal itu yang kini sedang terjadi di negara seperti Jepang, Korea atau China. Pengembangan produk inovasi dilakukan pihak swasta dengan dananya sendiri di masa depan," ucapnya.

Ditambahkan, industri itu selalu berpikir kalau akan buat produk itu memperhitungkan apakah 'cuan' atau tidak. Padahal, riset itu masih butuh tahapan lagi agar bisa bernilai ekonomis.

"Itulah kenapa riset Indonesia kebanyakan disimpan dalam laci kerjanya, karena industri maunya segera diproduksi agar bisa 'cuan'," jelas Mego.

Mego menilai perlu ada pihak yang bisa menjadi "jembatan" agar inventor dan investor bisa berkolaborasi. "Saya gembira ada AII yang siap menjembatani kelemahan itu," katanya.

Mego menambahkan, sektor industri memiliki peran besar dalam pengembangan dunia riset. Karena, industri yang akan memproduksi massal hasil temuan para inventor. Dan pemerintah menjadi fasilitator dalam pendekatan triple helix tersebut.

Menanggapi hal ini, Ketua Umum AII, Prof. Didiek Hadjar Goenadi menyebut ada tiga aspek dalam pengajuan paten untuk invensi yang dibuat. Pertama, invensi tersebut harus memiliki kebaruan, karena dunia berubah begitu cepat.

"Invensi yang sudah usang tidak bisa lagi diajukan sebagai paten," tegas Prof. Goenadi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com