Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

BRIN dan AII Dorong Inovasi Peneliti Jadi Pilar Akselerator Pertumbuhan Ekonomi

KOMPAS.com - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Asosiasi Inventor Indonesia (AII) terus mendorong agar inovasi hasil peneliti Indonesia mampu menjadi pilar akselerator pertumbuhan ekonomi pascapandemi Covid-19.

Sayangnya, hasil penelitian saat ini masih banyak yang belum memiliki nilai ekonomis dan berhenti pada paten atau jurnal ilmiah semata.

Fakta ini mengemuka dalam webinar bertajuk "Bridging Invention to Innovation to Overcome The Valley of Death Syndrome" yang digelar Asosiasi Inventor Indonesia (AII) secara daring pada Rabu, 10 November 2021.

"Riset dan inovasi belum menjadi pilar utama bagi Indonesia karena ekosistemnya belum mengarah ke sana," ungkap Mego Pinandito, Plt. Deputi Bidang Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN.

Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, termasuk kalangan industri bagaimana mengubah pandangan tentang pentingnya riset untuk kemajuan bangsa," tambah Mego.

Mego berharap, kolaborasi erat antara inventor dan industri dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga mencapai angka 6 koma sekian. Karena itu, Mego menjelaskan pihaknya mendorong strategi penguatan SDM dan infrastruktur litbang.

"Setelah itu, baru dikejar lewat pendekatan triple helix. Yang jadi pertanyaan sekarang, kenapa banyak riset bagus-bagus, tetapi sedikit sekali yang jadi produk komersial," kata Mego.

Jembatan inventor dan investor

Saat ini, ungkap Mego, hampir 80 persen hasil riset yang dikembangkan para peneliti di Indonesia berasal dari dana pemerintah. "Nantinya kami ingin, kondisinya berbalik menjadi 20 persen pemerintah, sisanya 80 persen oleh pihak swasta," tegas Mego.

"Hal itu yang kini sedang terjadi di negara seperti Jepang, Korea atau China. Pengembangan produk inovasi dilakukan pihak swasta dengan dananya sendiri di masa depan," ucapnya.

Ditambahkan, industri itu selalu berpikir kalau akan buat produk itu memperhitungkan apakah 'cuan' atau tidak. Padahal, riset itu masih butuh tahapan lagi agar bisa bernilai ekonomis.

"Itulah kenapa riset Indonesia kebanyakan disimpan dalam laci kerjanya, karena industri maunya segera diproduksi agar bisa 'cuan'," jelas Mego.

Mego menilai perlu ada pihak yang bisa menjadi "jembatan" agar inventor dan investor bisa berkolaborasi. "Saya gembira ada AII yang siap menjembatani kelemahan itu," katanya.

Mego menambahkan, sektor industri memiliki peran besar dalam pengembangan dunia riset. Karena, industri yang akan memproduksi massal hasil temuan para inventor. Dan pemerintah menjadi fasilitator dalam pendekatan triple helix tersebut.

Menanggapi hal ini, Ketua Umum AII, Prof. Didiek Hadjar Goenadi menyebut ada tiga aspek dalam pengajuan paten untuk invensi yang dibuat. Pertama, invensi tersebut harus memiliki kebaruan, karena dunia berubah begitu cepat.

"Invensi yang sudah usang tidak bisa lagi diajukan sebagai paten," tegas Prof. Goenadi.

"Kedua, invensi harus memberi manfaat bagi masyarakat, nusa dan bangsa. Dan ketiga, inovasi harus bisa dikomersialisasikan sehingga bisa memberi kesejahteraan bagi inventor," tambahnya.

Insentif bagi inventor

Prof. Goenadi menyebut menciptakan inovasi bukanlah hal yang mudah dan murah. Prosesnya memiliki risiko dan biaya tinggi, yang mencakup perubahan struktural terkait restrukturisasi keseluruhan ekonomi.

"Kehadiran BRIN menjadi angin segar bagi inventor di Indonesia, apalagi tadi disebutkan ada insentif bagi inventor untuk invensi yang akan diproduksi massal," katanya.

Pemberian insentif bagi inventor, lanjut Prof. Goenadi sebenarnya telah menjadi pembahasan AII sejak organisasi tersebut didirikan 20 tahun lalu. Namun, kebijakan tersebut tidak pernah bisa dilakukan, hingga BRIN mengeluarkan kebijakan tersebut.

"Semoga BRIN konsisten atas kebijakannya. Karena pengembangan riset itu untuk kepentingan dunia dan bangsa. Insentif bagi inventor penting, karena penciptaan inovasi membutuhkan banyak pengorbanan," harapnya.

Dalam kesempatan sama, Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurrachman, menyambut positif dan mendukung kegiatan AII dalam menjembatani hilirisasi riset kelapa sawit yang didanai oleh BPDPKS via program Grand Riset Sawit (GRS) sejak 2015.

Eddy menjelaskan, BPDPKS memiliki komitmen tinggi dalam mendorong kemajuan industri kelapa sawit nasional melalui penciptaan teknologi yg langsung dapat diaplikasikan ke industri dan petani.

Salah satunya adalah pengembangan BBN menjadi produk diesel, bensin, dan avtur dari minyak kelapa sawit yang sudah diujicobakan pada tingkat industri. Selain itu, imbuh Eddy, dikembangkan pula bensin sawit dan minyak sawit sehat melalui industrial vegetable oil (IVO) dan mixed IVO (MIVO).

Saat ini BPDPKS sedang bekerjasama dengan AII untuk memvaluasi teknologi hasil riset GRS tahun 2015-2020 yg siap dikomersialisasikan.

https://www.kompas.com/edu/read/2021/11/11/113017371/brin-dan-aii-dorong-inovasi-peneliti-jadi-pilar-akselerator-pertumbuhan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke