Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 14/10/2021, 12:51 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

Oleh: Hanun Aishy Marwa | MAN Tegal Jawa Tengah, Juara Kedua Festival Literasi Siswa Indonesia 2021

KOMPAS.com - Suara azan berkumandang ketika matahari mulai condong ke arah barat di Kampung Pesengkongan, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal. Cahaya mentari di langit yang semula bersinar terang pun mulai temaram.

Penanda panggilan ibadah bagi umat Islam itu dilantunkan lelaki berusia 61 tahun dengan suara lantang.

Tak berapa lama kemudian, satu per satu warga muslim di Kampung Pesengkongan berdatangan dan memasuki musala seluas kurang lebih 8 x10 meter persegi, tempat azan salat asar tersebut dikumandangkan.

Total terdapat 15 orang dalam jemaah sore itu. Pria yang menyuarakan azan, Helmi Saleh, sekaligus bertindak menjadi imam. Mereka salat berjamah di lantai dua dengan merasakan hembusan angin Pesisir Utara yang menembus dari jendela dan sela-sela ukiran kayu dinding-dinding musala.

Tempat beribadah yang dipergunakan Helmi dan warga muslim Pesengkongan itu masih kukuh. Tiang-tiang kayu peyangganya berdiri tegak menopang atap berlapis kayu setinggi 4 meter tersebut.

Padahal usianya diperkirakan sudah mencapai dua abad! Helmi yang juga ketua takmir musala tersebut mengatakan orang-orang sekitar biasa menyebutnya Langgar Dhuwur.

Dia mengatakan musala ini dibangun orang Melayu keturunan Gujarat bernama Syeh Abdurrahman pada 1820. Bahan bangunan Langgar Dhuwur terdiri atas batu bata dengan kayu yang merupakan bekas kapal.

Langgar Dhuwur memiliki nilai histori dan merupakan salah satu cagar budaya di Kota Tegal. Wajar apabila tempat ibadah ini mendapatkan tempat istimewa di hati masyarakat sekitar.

Baca juga: Utoeh Ishak, Penjaga Terakhir Rencong Tradisional Aceh

Warga Pasekongan yang multietnis

 

Saat teknologi transportasi belum berkembang pesat seperti dalam waktu seabad terakhir ini, Langgar Dhuwur merupakan tempat berkumpul calon jemaah haji yang akan berlayar dengan menggunakan kapal dari Pelabuhan Kota Tegal menuju Mekah, Arab Saudi.

“Dahulu lantai bawahnya jadi tempat transit orang-orang dari Slawi (Kabupaten Tegal), Brebes, Batang, Pekalongan, Pemalang, dan lain-lain ketika akan berangkat haji,” ungkap Helmi membuka obrolan di kediamannya sore itu, Kamis (23/9/2021).

Untuk menuju ke musala yang terletak di RT 01/RW 12 Tegalsari itu, orang-orang harus menyusuri gang-gang sempit berukuran 1,3 meter yang terletak sekitar 500 meter dari jalan raya.

Menariknya, bangunan yang disebut-sebut merupakan musala tertua di Kota Tegal tersebut terletak di tengah masyarakat multietnis dan multiagama.

Penduduk Pesengkongan dan sekitarnya merasal dari berbagai etnis dari Jawa, Melayu, dan Tionghoa.

Kota Tegal yang merupakan kota pelabuhan dengan letak geografis yang strategis merupakan tempat yang banyak dihuni para pendatang dari berbagai daerah di Nusantara. Keluarga Helmi sendiri merupakan campuran etnis Melayu Sumatera dan Arab Pakistan.

Di sisi lain, tidak semua warga Tegalsari beragama Islam. Sebagian warganya merupakan pemeluk agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu.

Gambaran masyarakat multietnis dan multiagama itu bisa dilihat dari bangunan-bangunan bersejarah di Pesengkongan dan sekitarnya.

Sekitar 250 meter ke arah timur Langgar Dhuwur, terdapat Kelenteng Tek Hay Kiong yang berdiri sejak 1760 atau sekitar empat abad silam.

Bukan retorika moderasi beragama

 

Lokasi yang tak jauh itu membuat suara azan yang dikumandangkan Helmi sore itu terdengar sayup-sayup ke kelenteng yang dibangun untuk menghormati dewa laut menurut kepercayaan warga keturunan Tionghoa ini.

Masih sekitar 200 meter ke arah Timur dari Langgar Duwur, terdapat tempat beribadah pemeluk agama Budha, Metta Vihara. Sementara sekitar 250 meter ke arah Timur Laut dari Langgar Dhuwur, terdapat Gereja Kristen Indonesia (GKI), tepatnya di Jl MT Haryono No. 1-3 dengan gaya arsitektur era kolonial.

Baca juga: Seniman Lukis Jelekong Bertahan di Tengah Badai

 

Tempat-tempat ibadah nan bersejarah itu sekaligus menjadi simbol kerukunan plus saksi bisu keharmonisan di Pesengkongan. Dalam hitungan abad, tidak ada percikan dan pergesekan konflik mengenai isu-isu multietnis dan multiagama di kampung itu.

“Langgar Dhuwur letaknya di RW 12, Kelenteng Tek Hay Kiong di RW 13, dan GKI di RW 10. Semuanya ada di Kelurahan Tegalsari. Walau jaraknya dekat-dekat tapi kami semua bisa akur,” sambung Ketua RT 1/RW 12 Kelurahan Tegalsari, Abdul Muthalib yang mendampingi Helmi saat wawancara Kamis lalu.

Moderasi beragama di Pesekongan bukan retorika belaka.

Mereka bisa hidup rukun dan saling menghargai serta tidak “saling mengganggu” kegiatan ibadah serta ritual keagamaan masing-masing. Bahkan, masyarakat multikultural, multietnis, dan multiagama berbaur dan bersosialisasi tanpa sekat pada 1970-an.

“Teman-teman saya waktu kecil, ya sama mereka-mereka. Ya main kelereng, ya main bola, main bareng-bareng di gang-gang ini,” ujar Helmi sambil menunjuk gang sempit di depan rumahnya.

Saat ini, perbauran masyarakat multietnis dan multiagama di Pesengkongan memang tidak lagi sekental era 1970-an.

Ciri khas dan gaya hidup masyarakat perkotaan menjadikan sosialisasi antartetangga menjadi berkurang. Namun, kerukunan antarumat beragama di Pesengkongan yang sudah berjalan berabad-abad tetap terawat sampai sekarang.

Terbukti, masing-masing pemeluk agama tetap bisa menjalankan ibadah dengan tenang.

“Seingat saya, dan dari cerita datuk [kakek] saya, sampai tiga generasi dan keturunan, belum pernah ada yang namanya perselisihan di sini,” ulas Helmi.

Baca juga: Bagaimana Rasanya Menjadi Berbeda?

Bukan hal berlebihan apabila Pesengkongan pantas dijadikan contoh gambaran kerukunan masyarakat Indonesia yang multikultural. Sebagai negara kepulauan dengan bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika, perbedaan merupakan sebuah keniscayaan.

Warga Pesengkongan dan sekitarnya pun telah membuktikan bahwa perbedaan latar belakang budaya, suku, ras, etnis dan agama bukanlah penghalang untuk hidup tenang berdampingan.

“Tidak ada gunanya juga kami saling berselisih, karena kami saudara sebangsa dan senegara. Ya saling menghargai saja lah,” pungkas Djie Kian Oen, warga Kota Tegal keturunan Tionghoa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com