Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar UGM Minta Penyaluran Bansos Jangan Tumpang Tindih

Kompas.com - 22/07/2021, 19:03 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Pemerintah menambah anggaran perlindungan sosial untuk meringankan beban masyarakat yang terdampak kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Pemerintah menambah alokasi untuk bantuan sosial (bansos) sebesar Rp 55,21 triliun.

Alokasi anggaran itu akan digunakan untuk beberapa program sosial pemerintah. Antara lain bantuan tunai, bantuan sembako, bantuan kuota internet dan subsidi listrik.

Baca juga: Tips Makan Daging Sehat ala Ahli Gizi UGM

Selain itu, pemerintah juga akan memberikan insentif untuk usaha mikro informal dan anggaran yang disiapkan sebesar Rp1,2 juta untuk satu juta usaha mikro.

Sayang, akibat data yang tidak akurat bansos menimbulkan banyak masalah.

Hingga menyebabkan distribusi bansos berjalan lambat dan tidak tepat sasaran.

Hal ini juga lantaran adanya ketidaksamaan data penerima bansos antara pemerintah pusat dan daerah.

Kepala Pusat Kajian Pembangunan Sosial (SODEC) UGM, Hempri Suyatna mengatakan, apa yang pemerintah lakukan saat ini lewat bansos merupakan upaya jaring pengaman sosial di masa pandemi Covid-19.

Hanya saja, persoalan yang kemudian muncul memang lebih terkait soal validasi data yaitu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) belum update.

Muncul pula masalah adanya konflik regulasi dan lemahnya sinkronisasi antara pemangku kepentingan (Kemenko, Kemendes, Kemensos, Kemendagri, Kementerian Keuangan, Pemprov atau Kabupaten) dan sebagainya.

Lalu, adanya soal pemburu rente dalam penyaluran bansos atau politisasi bantuan sosial yang semua diakibatkan banyaknya pintu untuk pendataan.

"Problem DTKS ini macam-macam, ada yang belum terisi NIK. Jika terisi tidak semua NIK valid atau ada ganda. Mereka yang meninggal dan pindah masih tercantum, dan terkadang ditemukan kasus tidak sama, data Dukcapil Kabupaten/Kota dengan Dukcapil Kemendagri," katanya melansir laman UGM, Kamis (22/7/2021).

Belum lagi, kata dia, model distribusi bansos yang berbeda-beda.

Baca juga: 63 Program Studi UGM Berstatus Akreditasi Internasional

Menurut Hempri, persoalan ini menimbulkan kecemburuan antar penerima program, khususnya pada program-program bansos konvensional, seperti PKH dan bantuan pangan non-tunai.

Kemudian munculnya juga perilaku mendadak miskin di masyarakat dan program bantuan sosial yang tumpang tindih.

Harmonisasi penyaluran bansos

Oleh karena itu, dia berharap dilakukan penyamaan persepsi mengenai indikator keberhasilan program, yaitu keterserapan anggaran yang dihadapkan dengan ketepatan program.

Selain itu, perlu untuk mendefinisikan situasi darurat atau level secara hukum, politik dan medis.

"Sangat diperlukan harmonisasi dan sinkronisasi regulasi yang mengarah pada integrasi program-program bansos dan perbaikan manajemen data yaitu optimalisasi satu data nasional karena pendataan dengan banyak pintu menimbulkan konflik kepentingan," ucap dia.

Untuk bansos di situasi saat ini, kata Hempri, sangat darurat.

Menurut dia, perlu dipikirkan pula bantuan-bantuan khusus warga tidak mampu yang saat ini melakukan isolasi mandiri.

Karena, mereka ini kira-kira masuk ke dalam kriteria yang mana atau nantinya dibantu APBD.

"Intinya saya kira fokus ke bagaimana program tepat sasaran dan jangan tumpang tindih, karenanya mendesak soal verifikasi dan validasi data ini, sejauh mana kesiapan manajemen data selama ini sudah diperbaiki," ungkapnya.

Dia mengaku, kasus kematian mereka yang melakukan isoman saat ini cukup tinggi.

Meski ada bansos, untuk mereka yang isoman ini ternyata belum ada skema tersendiri soal bantuan.

Baca juga: Cerita Unik Saudara Kembar 3 Diterima Unair Jalur SNMPTN dan SBMPTN

"Yang tersentuh mereka penduduk miskin dan terdapat di DTKS. Karenanya kita berharap Kemensos sebagai leading sector untuk bansos ini. Pemda juga harus mendorong inovasi dan kearifan lokal di tingkat desa/kelurahan untuk membantu yang isoman," pungkas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com