Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Unair: Ini Cara Teroris Tarik Perhatian Generasi Milenial

Kompas.com - 09/04/2021, 17:39 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu publik sempat dihebohkan dengan peristiwa terorisme di dua lokasi berbeda.

Pertama, bom bunuh diri di Gerbang Gereja Katedral Makassar pada Minggu (28/3/2021) dan kasus kedua, penyerangan terhadap Mabes Polri pada Rabu (31/3/2021).

Usai melancarkan aksinya, dua pelaku di dua lokasi berbeda ini sama-sama meninggalkan surat wasiat. Kesamaan isi dari surat wasiat yang ditinggalkan memicu kecurigaan publik bahwa para pelaku saling memiliki keterkaitan satu sama lain.

Setelah dilakukan investigasi ditemukan fakta bahwa pelaku bom bunuh diri di Gerbang Gereja Katedral Makassar dan penyerangan Mabes Polri merupakan pelaku yang memiliki usia produktif.

Baca juga: Peneliti IPB Temukan Minuman Penurun Gula Darah Berbasis Rempah

L pelaku bom bunuh diri merupakan laki-laki berusia 26 tahun sedangkan ZA yang merupakan pelaku penyerangan Mabes Polri perempuan berusia 25 tahun.

Usia yang tergolong milenial ini, menimbulkan kesimpulan di kalangan masyarakat bahwa usia produktif atau usia para milenial lebih mudah terpapar oleh ideologi kekerasan dan radikalisme.

Dosen Psikologi Universitas Airlangga (Unair), Ilham Nur Alfian, mengatakan bahwa doktrin ideologi kekerasan dan radikalisme tidak ada konotasinya dengan masyarakat usia produktif.

“Saat ini konteksnya adalah model doktrinasi ideologi kekerasan dan radikalisme tersebut dilakukan dengan media-media sosial,” terangnya, dilansir dari laman Unair.ac.id

Terorisme modern menyasar pada propaganda virtual dengan bantuan media sosial untuk melipat gandakan teror dan pelaku teror di suatu negara, termasuk Indonesia.

Baca juga: Peneliti IPB: Tanaman Herbal Ini Berkhasiat Redakan Asam Urat

"Serangan teroris modern mengalami penurunan dalam hal kualitas namun meningkat dalam hal popularitas,” imbuhnya.

Aktivitas masyarakat usia produktif yang gemar berselancar di media sosial menjadi alasan bahwa mereka mudah terpapar oleh ideologi kekerasan dan terorisme.

“Dalam konteks penggunaan propaganda virtual inilah kelompok milenial atau yang saat ini masuk usia produktif pasti sangat berisiko dan rentan menerima doktrin tersebut (Kekerasan dan terorisme, Red) karena aktivitas mereka memang berselancar di media sosial,” jelas Ilham.

Masyarakat yang terpapar oleh propaganda virtual cenderung melancarkan pola serangan terorisme yang bersifat “Lone Wolf”.

Istilah ini, mengacu pada cara para teroris yang menyerang dengan cara tidak ber grup dan mereka cenderung melakukan aksinya dengan skala kecil dan acak.

Baca juga: BUMN Bank Mandiri Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan SMA, D3, S1-S2

“Di sinilah bahayanya, serangan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja,” kata Ilham.

Karakteristik seorang teroris secara psikologis juga sulit untuk diidentifikasi. “Agak sulit memang mengidentifikasi karakteristik psikologis apa yang secara khusus bisa mengidentifikasi kecenderungan orang-orang yang akan melakukan tindakan terorisme,” paparnya.

Ilham berpesan untuk mencegah agar masyarakat tidak mudah terpapar ideologi kekerasan dan terorisme maka harus berhati-hati dalam menerima segala informasi. “Yang jelas critical thinking dalam situasi banjir informasi di media sosial menjadi penting,” tutup Ilham.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com