Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Standarisasi Buku Pendidikan, Sebuah Keniscayaan

Kompas.com - 12/03/2021, 08:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Di manakah akar persoalannya?

Ternyata, setelah diselidiki secara seksama, akar masalahnya bukan pada kurikulum, sarana prasarana, atau kualitas tenaga pendidik. Tetapi, ada pada buku-buku teks pendidikan yang tidak memiliki standar mutu yang jelas.

Oleh karena itu, pada 1983, Komisi Nasional Keunggulan Pendidikan dari pemerintahan Presiden Ronald Reagan merilis suatu peringatan dengan tajuk "Bangsa yang Berisiko".

Peringatan itu menyoroti kualitas sekolah/universitas dan prestasi belajar siswa yang merosot akibat menggunakan buku-buku pendidikan yang tak bermutu.

Pada pertengahan 1990-an, gerakan untuk mengembangakan standar akademik menjadi semakin kuat. Hal itu didorong oleh "Goals 2000", dan Undang-Undang Educate America tahun 1994.

Sebagai tanggapan, negara-negara bagian dan komunitas lokal menyusun pedoman untuk menunjukkan apa yang harus diketahui para siswa di setiap tingkatan pendidikan.

Dengan pedoman tersebut, pembuat kebijakan dan praktisi pendidikan mulai mempertanyakan secara serius ketergantungan para guru pada buku teks.

Sebagai langkah lanjutanya, otoritas dan organisasi-organisasi pendidikan bersepakat menetapkan pedoman dan standarisasi pengadaan buku-buku pedidikan.

Dengan begitu organisasi-organisasi pendidikan tidak lagi sesuka hati memilih penulis, dan menerbitkan buku-buku teks pendidikan.

Mereka juga tak mau lagi menyerahkan hak kepada penerbit untuk membuat seleksi atas naskah bagi buku-buku pendidikan. Sebaliknya, mereka menetapkan kriteria dan kualifikasi yang ketat, sehingga tak semua orang yang merasa bisa menulis boleh menulis buku-buku untuk keperluan pendidikan.

Bahkan, mereka menyediakan tim ahli, yang secara teliti memeriksa draf buku-buku teks, tidak hanya soal keakuratan informasi dan datanya, tetapi juga untuk keselarasannya dengan standar akademis dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang sedang terjadi.

Memasuki dekade 2000-an, gerakan standarisasi buku-buku teks sekolah berlanjut. Namun, fokusnya bergeser, bukan pada masalah konten karena masalah itu sudah dapat diatasi, tetapi pada soal bentuknya.

Gerakan ini muncul ketika banyak orangtua dari siswa-siswa di sekolah dasar yang mengeluhkan soal beratnya buku-buku teks yang harus dipikul para siswa setiap hari.

Dikhawatirkan, dengan memikul beban yang terlalu berat pada usia muda, anak-anak berisiko bertumbuh dengan bentuk fisik yang tidak sehat.

Semenjak itu, pedoman dan standarisasi pengadaan buku-buku pendidikan menambahkan aspek baru, yakni supaya buku-buku pendidikan diterbitkan secara digital, dalam bentuk e-book.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com